MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Menurut bahasa najis adalah apa saja yang dipandang kotor atau menjijikkan menurut agama (syar’i). Sedang pengertian najis menurut istilah, najis adalah kotoran yang harus disucikan (dibersihkan) oleh seorang muslim dan dia membersihkan apa saja yang terkena najis tersebut. Lantas apakah cairan madi dan wadzi termasuk benda najis yang membatalkan wudhu?
Wadi merupakan cairan putih kental yang keluar setelah kencing. Menurut kesepakatan ulama, hukumnya najis. Aisyah Ra. berkata: “Sedangkan wadi adalah cairan yang keluar setelah kencing yang seseorang harus mencuci kemaluannya dan berwudhu tanpa harus mandi”. (H.R. Ibnul Mundzir).
Perkataan Aisyah ini diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir. Menurut Ibnu Abbas, mani itu mewajibkan mandi, sedangkan wadi dan madzi mengharuskan bersuci. Pendapat Ibnu Abbas tersebut dinukil oleh al-Atsram dan Baihaqi yang artinya: “Sedangkan tentang wadi dan madzi, dia berkata: “Cucilah kemaluanmu, atau bagian sekitar kemaluanmu, lalu berwudhulah bila mau melaksanakan salat.”
Sedangkan Madzi adalah cairan putih yang lengket. Biasanya keluar ketika seseorang membayangkan persetubuhan atau percumbuan. Kadang-kadang seseorang tidak menyadari keluarnya. Ia bisa keluar pada laki-laki dan perempuan. Menurut kesepakatan para ulama, hukumnya najis. Bila mengenai tubuh, harus dibasuh dan jika mengenai pakaian, maka disiram air. Najis ini lebih perlu mendapat keringanan dari pada kencing bayi.
Ali RA berkata: “Aku adalah seorang laki-laki yang sering mengeluarkan madzi. Terkait hal itu, aku menyuruh seseorang untuk bertanya kepada Nabi SAW., mengingat kedudukan puterinya sebagai isteriku. Setelah orang itu bertanya, Nabi SAW. menjawab: Wudhulah dan cucilah kemaluanmu». (H.R. Bukhari dan lainnya).
Sementara itu, sperma menurut sebagian ulama menghukuminya najis. Tapi pendapat yang kuat menyatakan mani itu suci. Namun demikian, bila ia basah, maka disunahkan mencucinya, atau kalau kering, disunahkan mengeriknya. Aisyah ra. berkata: “Aku mengerik mani yang kering di baju Rasulullah SAW, dan aku mencucinya bila ia masih basah”. (H.R. Ad-Daruquthni).