MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Dalam QS. Al Baqarah ayat 213 secara jelas disebutkan bahwa Manusia itu (dahulunya) satu umat (Kana al-nasu ummatan wahidah). Kata ummah dalam ayat tersebut berbentuk tunggal (jamak: umam).
Menurut Nur Kholis, secara bahasa kata ini mengandung beberapa arti, antara lain: 1) suatu golongan manusia, 2) setiap kelompok manusia yang dinisbatkan kepada seorang nabi, misalnya umat Nabi Muhammad saw, umat Nabi Musa as, dan 3) setiap generasi manusia yang menjadi umat yang satu (ummatan wahidah).
“Mayoritas mufassir sepakat bahwa yang dimaksud ummah dalam ayat ini adalah al-millah yang bisa dimaknai sebagai agama sebagaimana penjelasan dalam bab terdahulu ketika berbicara tentang millah Ibrahim,” ucap Nur Kholis dalam kajian yang diselenggarakan Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan pada Kamis (11/08).
Sementara itu, kata al-nas dalam ayat tersebut mengacu pada aspek manusia dalam konteks kehidupan sosialnya. Hal ini terkait dengan penyebutan manusia di dalam Al-Qur’an yang bervariasi, salah satunya adalah penyebutan al-nas. Penggunaan kata al-nas dalam Al-Qur’an kerap dihubungkan dengan aspek sosiologisnya (kemasyarakatannya).
“Ini berkaitan dengan watak manusia yang tidak mungkin hidup sendiri (homo socius), namun selalu berinteraksi dengan manusia lainnya, dan kemudian membentuk sebuah karakter budaya dan tradisi yang khas,” terang Nur Kholis.
Karenanya, Kalimat “Kana al-nasu ummatan wahidah” memberikan gambaran bahwa konsep manusia itu merupakan sekelompok individu yang memiliki budaya dan tradisi yang khas, yakni bersatu dalam konsep ummah.
Kata ummah dimaknai sebagai millah, yakni ajaran dan aturan Allah yang diturunkan kepada para Nabi, sehingga kata manusia dapat dimaknai sebagai sekumpulan makhluk yang mengikuti tradisi nabi-nabi yang satu, yakni ajaran tauhid. Akibat dari adanya penyelewengan-penyelewengan terhadap tradisi dan ajaran tauhid, Allah mengutus para nabi untuk meluruskan penyimpangan tersebut.
Para nabi, termasuk Nabi Muhammad saw diutus disertai dengan kitab suci yang berisi ketentuan-ketentuan ajaran Allah. “Dahulunya memang umat manusia itu ada dalam satu tradisi tertentu. Apa tradisinya? Yaitu ajaran tauhid. Tetapi dalam sejarah perkembangannya manusia didorong oleh kecenderungan negatif dan menyelewengkan tradisi tauhid secara berkelompok,” terang Nur Kholis.