MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— secara umum dibolehkan bagi suami melihat aurat istri atau sebaliknya baik ketika berhubungan, mandi bersama maupun dalam keadaan yang lain. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT sebagai berikut: al-Mukminun (23): 5-6: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.”
Begitu juga dalam sebuah riwayat dikisahkan, seorang sahabat yang bernama Mu’awiyah bin Haidah al-Qusyairy pernah bertanya kepada Rasulullah saw: “Ya Rasulullah, aurat kami manakah yang harus kami tutup dan manakah yang boleh kami buka?” Rasulullah saw bersabda: Tutuplah auratmu kecuali dari istrimu atau budak perempuanmu.” [HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan Abu Dawud].
Riwayat tersebut menunjukkan bolehnya istri melihat aurat suami dan bolehnya budak wanita melihat aurat sayyidnya (majikan), demikian pula suami atau majikan boleh melihat aurat istri dan budak wanitanya.
Memang ada riwayat hadis yang membicarakan batasan suami istri untuk melihat farji atau kemaluan (alat kelamin) pasangannya, dimana melihatnya dilarang. Larangan ini disandarkan pada hadis yang diriwayatkan ‘Aisyiah ra.: “‘Aisyah ra. berkata: “Aku tidak melihat “kemaluan” Rasulullah begitu pula Beliau tidak melihat “kemaluan”ku“.
Namun setelah dilakukan penelusuran, hadis yang disebutkan di atas tidak ditemukan jalur sanadnya. Dan jika hadis ini tidak memiliki sanad, maka hadis seperti ini dalam istilah ilmu hadis disebut dengan la asla lahu (tidak memiliki sumber asal) yang-meminjam istilah Ibn Hajar al-‘Asqolani temasuk hadis maudlu’ (palsu), sehingga ditolak sebagai hujjah.
Kesimpulannya adalah tidak ada batasan aurat istri yang boleh dilihat oleh suami (semua diperbolehkan) dan demikian pula sebaliknya, tentunya selama hal itu memang tidak menyimpang dan bertentangan dengan yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.