Tidak ada yang meragukan bahwa Nabi Saw menggunakan rukyat dalam penentuan awal bulan kamariah. Banyak hadis-hadis yang menunjukkan demikian. Penggunaan rukyat sebagai metode penenuan awal bulan tidak membawa problem. Apalagi pada waktu itu Islam baru berkembang di daratan jazirah Arab. Terlihat dan tidaknya hilal di Jazirah Arab tidak berpengaruh bagi penepatan jatuhnya waktu- waktu ibadah umat Islam di tempat lain yang jauh dari Semenanjung Arabia.
Penyebaran Islam dimulai tak lama setelah Rasulullah Saw wafat pada 632 M. Berbagai dinasti-dinasti Islam berdiri silih berganti. Dari Bani Umayyah, Abbasiyah, Murabitun, Seljuk Turki, Mughal di India dan Safawi di Persia hingga Utsmani termasuk yang terbesar dan terkuat di dunia. Perdagangan dan politik telah menyebabkan penyebaran Islam dari Mekah hingga Cina dan Indonesia, bahkan sampai bahkan di pulau-pulau kecil di Samudra Pasifik.
Dalam keadaan umat Islam yang telah tersebar luas, rukyat tidak dapat mencakup seluruh permukaan bumi saat visibilitas pertama. Ada sebagian wilayah di muka bumi yang dapat melakukan rukyat, dan ada bagian dari wilayah bumi yang tidak dapat melakukan rukyat. Konsekeunsinya, umat Islam sedunia tidak dapat melakukan selebrasi keagamaan secara serempak. Apabila ini terjadi dengan bulan Zulhijah, maka akan timbul problem pelaksanaan puasa sunah Arafah.
Akan tetapi, bagaimana dengan hadis Nabi Saw tentang perintah menggunakan rukyat? Bukankah kalimat perintah menunjukkan kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan akan mendapat dosa? Jika bisa diubah, bagaimana metodenya? Artikel ini akan mengulas perubahan dari rukyat ke hisab dalam tinjauan usul fikih.
Syarat Perubahan Hukum dalam Islam
Ada anggapan kajian Fikih klasik tidak selalu dapat mengikuti lompatan perkembangan pemikiran Islam. Padahal, fikih dapat menjadi jembatan untuk mewujudkan Islam yang shalih likulli zaman wa makan. Sebagaimana yang telah disinggung oleh Ibnu Rusyd bahwa al-Qur’an dan Hadist itu terbatas (mutanahiyat), sementara realitas-realitas yang terjadi di alam raya ini sifatnya tidak terbatas (ghair mutanahiyat), maka perlu melakukan pembaharuan yang sesuai dengan denyut ruang dan waktu yang jalan pelaksanaannya dapat ditempuh melalui (ushul) fikih.
Dalam kaidah fikih disebutkan ‘tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman’. Melalui proses eksplorasi nalar, sejumlah hal ketentuan-ketentuan normatif dalam hukum Islam dapat diubah. Misalnya dalam fatwa-fatwa Umar bin Khattab, salah satunya: menyerahkan tanah rampasan perang kepada Negara untuk kemaslahatan penduduk—tidak hanya membagikannya kepada para tentera yang ikut dalam perang yang tak digaji (al-ghuzzat ghair al-murtaziqin).
Kenapa Jadi Hisab, Bukan Rukyat?
Dalam kitab Ushul al-Fiqh: Dirasah Naqdiyyah fi Aliyat Iktisyaf al-Ahkam al-Syar’iyyah Syamsul Anwar menguraikan tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk suatu hukum dapat berubah, yaitu: ada tuntutan kemaslahatan untuk berubah; ketentuan hukum yang berubah itu tidak menyangkut substansi ibadah mahdlah; ketentuan hukum tersebut bukan ketentuan hukum yang qath‘i; dan ketentuan hukum baru harus berlandaskan dalil syar‘i. Apabila perintah penggunaan rukyat dalam hadis Nabi Saw diuji dengan kaidah perubahan hukum ini, maka:
1) Terdapat tuntutan untuk melakukan perubahan dari penggunaan rukyat kepada penggunaan hisab. Dalam konteks saat ini, kaveran rukyat terbatas di muka bumi pada hari pertama visibilitas hilal. Sebagian bumi sebelah barat yang bisa melihat hilal sehingga akan memulai bulan kamariah baru keesokan harinya dan ada muka bumi sebelah timur pada hari yang sama tidak dapat melihat hilal sehingga memulai bulan kamariah baru lusa. Akibatnya tanggal hijriah jatuh berbeda. Kenyataan ini membawa akibat serius seperti tidak dapat menyatukan jatuhnya hari Arafah di seluruh dunia secara serentak.
2) Metode rukyat bukan bagian dari ibadah mahdlah, melainkan alat untuk menentukan waktu. Penggunaan rukyat tidak memungkinkan kita meramalkan tanggal jauh hari ke depan karena kepastian tanggal baru diketahui sehari sebelum bulan baru pada setiap bulan. Sebagai alat, rukyat dapat diubah dengan model penghitungan secara eksak demi tercapainya suatu tujuan. Lagi pula, dalam hadis Nabi Saw tentang penentuan awal bulan, yang menjadi ibadah mahdlah adalah puasa, bukan rukyat.
3) Perintah melakukan rukyat bukanlah perintah yang qath‘i karena perintah itu berdasarkan kepada hadis ahad. Dalam kaidah ilmu hadis dan usul fikih, hadis ahad tidak selalu berdampak qath‘i, melainkan menimbulkan hukum yang zhanni. Hal tersebut dibuktikan dengan perbedaan pendapat ulama mengenai rukyat. Rasyid Ridha dan Musthafa az-Zarqa, misalnya, menyatakan secara tegas bahwa perintah rukyat itu didasarkan atas suatu kausa (ilat), yaitu kondisi umat pada saat itu masih belum mengenal tulis baca dan hisab (ummi), sehingga untuk memudahkan Nabi saw memerintahkan sarana yang tersedia saat itu, yaitu rukyat.
4) penggunaan hisab sebagai hukum hasil perubahan mendapatkan dasar-dasarnya di dalam al-Quran dan Sunnah. Dalam al-Quran terdapat dua ayat yang mengandung isyarat yang jelas kepada hisab, QS. Ar-Rahman ayat 5 dan QS. Yunus ayat 5. Selain itu, Hadis Ibn ‘Umar riwayat al-Bukhari dan Muslim menyatakan bahwa, “Jika hilal di atasmu terhalang awan, maka estimasikanlah,” memberi tempat bagi penggunaan hisab di kala bulan tertutup awan.
Dengan demikian, perubahan dari rukyat ke hisab bukan suatu yang bertentangan dengan Sunah Nabi Saw karena keempat syaratnya telah terpenuhi. Dengan hisab, radius kemaslahatan akan semakin lebar. Umat Islam tidak perlu lagi mengarahkan pandangan ke angkasa mencari-cari agar bisa melihat bulan, tetapi dapat melakukan penghitungan posisi bulan dan matahari secara cermat untuk ratusan tahun ke depan. Muhammadiyah tidak ingin bila kontribusi ilmiah dalam menunjang peribadatan terhalang oleh interpretasi literal klasik.
Penulis: Ilham Ibrahim
Editor: Fauzan AS