MUHAMMADIYAH.OR.ID, KEPRI— Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mengajak kepada semua bahwa, ketika terjadi musibah harus diterima tidak perlu digiring ke arah perdebatan yang kontraproduktif. Namun secara bersamaan musibah harus diikhtiarkan untuk dihadapi dan cari solusi.
Meskipun demikian, adakalanya manusia tidak bisa mengatasi musibah secara menyeluruh, atau tidak bisa mengelakkan musibah. Terkait itu, Haedar menyebutnya sebagai rahasia dan urusan hidup. Dia mengingatkan, bahwa seharusnya melalui musibah maupun nikmat, hati maupun iman manusia itu tercerahkan.
Menurutnya, melalui ujian musibah maupun nikmat akan menjadikan manusia semakin tawadhu’, tasyakur, dan menerima kekuasaan Allah. Akan tetapi tidak jarang yang terjadi malah sebaliknya, yang muncul adalah saling menyalahkan, sikap egoism, dan sejenisnya. Dalam konteks tersebut agama harus dihadirkan untuk mencerahkan.
“Dalam konteks ini agama kita hadirkan untuk mencerahkan, dimulai dari kita, keluarga kita, organisasi kita, umat kita, baru bangsa dan negara, sampai kemanusiaan yang lebih luas. Jadikan setidaknya agama itu sebagai nasihat,” ungkap Hedar pada (5/12) di acara Pengajian PWM Kepulauan Riau.
Maka, jika mampu menempatkan agama seperti itu, setidaknya muslim telah memfungsikan agama sebagai cara mengajak kepada Tuhan dengan cara hikmah dan bijaksana sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Al Nahl: 125. Haedar menegaskan bahwa, An Nahl ayat 125 ini adalah petunjuk teknis (juknis), atau kaifiyah dakwah yang harus digunakan oleh umat Islam.
Supaya tidak terjadi penyempitan makna, Muhammadiyah dalam memandang persoalan termasuk urusan agama dan konteks yang mengelilinginya memakai pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Atau dalam istilah lain Muhammadiyah selain memandang persoalan melalui pendekatan teks, juga konteks, dan pendekatan rasa atau ruhani maupun ihsan.
Termasuk dalam konteks dakwah, kata Haedar, pendekatan-pendekatan yang digunakan oleh Majelis Tarjih tersebut bisa sangat aplikatif. Sebab dakwah bukan hanya melihat teks, tapi juga konteks dan keadaan ruhani mad’u. Misalkan dakwah kepada kelompok dhuafa’ – mustadh’afin, tentu bukan tema wajib zakat yang disampaikan.
“Termasuk ketika kita ada di kawasan dhuafa’ – mustadh’afin kita tidak bicara tentang kewajiban zakat, kasihan mereka. Hal-hal seperti ini maka ada fiqhud dakwah, semuanya memerlukan pemahaman keislaman yang baik,” sambung Haedar.
Melalui pendekatan irfani, Haedar mengajak supaya jangan merasa diri paling suci. Sebab Allah yang paling tahu hambanya yang mana yang paling bertaqwa. Bahkan dikala benarpun, seorang muslim tetap diperintahkan untuk tetap tawadhu’. Pendekatan irfani ini juga penting sebagai penyeimbang pandangan yang terlalu – mutlak rasional.