MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA– Melalui kacamatanya, Hajriyanto Yasin Thohari menemukan bahwa, dikalangan orang Muhammadiyah terdapat perilaku yang tidak suka menonjolkan kemuhammadiyahannya. Sehinga dikemudian hari menyulitkan pelacakan jejak mereka, termasuk mereka yang menjadi pahlawan dengan latar belakang Muhammadiyah.
Ketua PP Muhammadiyah ini menyebut, sebenarnya melimpah jumlah pahlawan yang berlatarbelakang Muhammadiyah, akan tetapi akibat tidak menonjolkan kemuhammadiyahannya menjadikan sulit melacakanya.
“Lebih sering memperlihatkan institusi lainnya yang terkait dengan kegiatan lainnya, karena Muhammadiyah itu memang bukan tempa untu bekerja,” sambung Hajri di acara Pengajian Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada, Jumat (12/11).
Tidak bisa dipungkiri kebiasaan tidak suka menonjolkan kemuhammadiyahannya juga masih ditemukan pada kader-kader Muhammadiyah sekarang.
Pada pengajian yang mengangkat tema Muhammadiyah dan Kepahlawanan Nasional ini Hajri berpesan supaya peran orang Muhammadiyah yang berjuang untuk kemerdekaan negara ini harus dimunculkan. Namun tidak asal mengklaim, tapi juga harus disertai bukti, dan harus disertai penghubung antara klaim dan bukti tersebut berupa narasi dan logika.
“Kita punya klaim, kita juga punya bukti, tapi kalau tidak dihubungkan keduanya maka orang juga tidak akan tahu dan mengenalnya. Maka diperlukan narasi yang logis, empiris, untuk menghubungkan klaim dan bukti tersebut,” imbuhnya.
Terkait itu, Duta Besar Luar Biasa Berkuasa Penuh Indonesia untuk Libanon ini berharap supaya Muhammadiyah untuk menarasikan anggotanya baik yang sudah tercatat maupun belum sebagai pahlawan, ia juga berharap kepada ilmuan khususnya bidang sejarah untuk berpihak kepada kebenaran.
Model perilaku kurang suka menonjolkan kemuhammadiyahannya tercermin pada diri Ir. Djuanda Kartawidjaja. Padahal aktivitas Djuanda di Muhammadiyah sangat menonjol, sebab bukan hanya bergerak pada aktivitas lapangan saja, melainkan ia juga sebagai perintis, pendiri, pengembang, dan memimpin secara langsung sekolah Muhammadiyah di Kramat, Jakarta.
“Bahkan ketika beliau lulus dari ITB, karena ketidaksukaannya pemerintahan kolonial Belanda, Pak Djuanda itu tidak mau bekerja dalam instansi pemerintahan kolonial Belanda waktu itu. Beliau lebih memilih menjadi Kepala Sekolah Muhammadiyah Tingkat Menengah, dan beliau tidak begitu banyak menonjolkan kemuhammadiyahannya,”ungkap Hajri.
Menurutnya, untuk meningkatkan rasa kemuhammadiyahan pada diri orang Muhammadiyah bisa melalui seremonial keagamaan Muhammadiyah. Sebaliknya, jika semakin sedikit terlibat dalam seremonial Muhammadiyah yang bersifat keagamaan, maka juga akan semakin lemah identifikasi dirinya sebagai Muhammadiyah.