MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA– Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, meskipun ummat Islam di Indonesia mayoritas tapi masih belum bisa menjalin ukhuwah Islam yang kohesif. Meski keragama merupakan sunatullah, tapi di beberapa kesempatan yang mengharuskan untuk menyatukan langkah, umat Islam masih sulit melakukannya.
“Lebih-lebih menyangkut politik jelas susahnya kita untuk mencari titik temu,” ucap Haedar secara daring di acara Pembukaan Musyawarah Pimpinan Wilayah (Musypimwil) Muhammadiyah Kalimantan Tengah pada (23/10).
Menurutnya, saat ini selain masalah yang disebutkan di atas, batu sandungan terbesar yang menganjal umat Islam Indonesia untuk maju adalah terkait dengan sosial-ekonomi. Sebab, pada realitanya umat Islam yang mayoritas di Indonesia pada dua aspek tersebut belum mayoritas maupun kualitas, masih kalah dari kelompok-kelompok lain.
Meski sebagai mayoritas, namun umat Islam Indonesia kesejahteraan hidupnya mayoritas juga masih berada di bawah. Tidak hanya itu, mereka juga mengalami kesulitan dalam kesehatan, matapencaharian, pendidikan, bahkan juga dalam artikulasi politik. Terlebih dalam urusan politik, umat Islam acapkali posisinya hanya sebagai ‘obyek menderita’ dan obyek penyerta.
“Biarpun kita punya identitas politik keislaman dan berbagai atribut ekonomi Islam, perbankan syariah, tapi belum bisa mendongkarak kekuatan ekonomi umat”. Tegasnya
Haedar melanjutkan, identitas keislaman yang dimiliki umat Islam Indonesia belum disertai dengan aktualisasi dan manifestasi kekuatan sosial-ekonomi yang mencukupi apalagi sampai ke tingkat unggul.
Di sisi lain, terkait dengan masalah kebangsaan dan kenegaraan yang kian kompleks, Guru Besar Bidang Sosiologi ini menyebut, tidak bisa dalam menjawab tantang tersebut dengan reaksi-reaksi yang pendek, maupun dengan pemikiran yang verbal dan normatif semata. Tapi harus dengan pemikiran mendalam, luas, dan komprehensif
Pemikiran yang mendalam, meluas, dan komprehensif tersebut lebih-lebih harus dimiliki oleh Muhammadiyah yang notabene sebagai organisasi sosial keagamaan. Di tengah arus media yang saban hari begitu kuat, cara berpikir tersebut penting untuk terus dirawat dan tumbuh kembangkan.
“Habis waktu kita dengan media sosial, yang kalau kita tidak pandai-pandai, pertama kita akan menjadi orang yang kurang produktif karena waktu kita habis dengan media sosial. Kemudian kita bisa saja juga sekarang terbawa arus dengan hoak, ujaran-ujaran yang tidak ada manfaatnya, ujaran permusuhan, kebencian, dan berita yang bikin panas, dan lain sebagainya,” ungkapnya.
Di tengah situasi tersebut, Haedar berpesan supaya untuk memperteguh paham keagamaan dan ideologi Muhammadiyah. Pemahaman keagamaan sesuai Manhaj Tarjih dengan Pemikiran Islam Berkemajuan menjadi penting. Melalui paham agama tersebut diharapkan Muhammadiyah menjadi rujukan oleh internal, lebih-lebih umat dan bangsa.
Haedar menegaskan, dari pada terjebak dan ikut-ikutan perdebatan di media sosial yang tidak produktif, Mubaligh dan Warga Muhammadiyah lebih baik meningkatkan pemahaman keagamaan secara produktif.
Artinya bukan hanya mereaksi atas persoalan, tapi juga menawarkan paham keagamaan Muhammadiyah yang terbukti mendalam, meluas, dan komprehensif.