MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA– Muhammadiyah tidak hanya bicara namun terus bertindak nyata dengan bentuk usaha melakukan advokasi dan pemberdayaan petani, menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, pemberdayaan yang dilakukan oleh Muhammadiyah sebangun dengan usaha kemajuan.
Muhammadiyah dalam melakukan pemberdayaan berangkat dari etos semangat Al Ma’un, melalui Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM), Muhammadiyah mengentaskan masalah-masalah yang dihadapi oleh kelompok marjinal atau dhuafa’, mustadh’afin baik yang disebabkan oleh budaya, bencana alam, maupun secara struktural.
“Bahkan sudah sudah 15 tahun MPM mendampingi petani, mulai dari pengorganisasian, kemudian advokasi sampai kemudian melakukan usaha-usaha yang langsung dari hulu ke hilir. Satu di antara produknya adalah JATAM,” ungkap Haedar pada Jumat (24/9) di acara Refleksi Hari Tani Nasional yang diadakan MPM PP Muhammadiyah.
Haedar menegaskan, ikhtiar pensejahteraan kelompok tani oleh Muhammadiyah akan terus dilakukan semakin luas dan masif. Meski demikian, Muhammadiyah sadar atas ikhtiar yang diusahakan belum memadahi dalam konteks global yang mengalami perubahan cepat. Sebab perubahan secara global bergerak ke arah industri.
“Proses global ini meniscayakan seakan-akan setiap negara itu maju – modern jika kita bergerak dari pertanian menjadi negara industri, sekarang lebih lagi ke arah revolusi IT,” imbuhnya.
Pandangan tersebut menyebabkan sektor pertanian sebagai bagian yang harus ditinggalkan sebab mengejar kemajuan peradaban, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Muhammadiyah dan MPM pada khususnya. Menurutnya, tiap babak peradaban menciptakan alam pikiran baru, dan aktivitas lama dianggap sudah tidak layak diikuti atau dilanjutkan.
Secara lebih real, Haedar mencontohkan bahwa beberapa waktu terakhir Fakultas Pertanian di Perguruan-perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) semakin sedikit peminatnya. Selain itu, kenyataan zaman menunjukkan bahwa, sektor pertanian hanya dianggap sebagai komplementer saja di dalam sebuah pembangunan suatu negara.
Dalam kaca mata Haedar, kebijakan timpang terhadap sektor pertanian yang berpihak kepada petani ini sudah berjalan sejak zaman kolonial. Di zaman itu, katanya, kebijakan hanya untuk kolonial dan kelas atas, karena kebijakan yang dibuat tersebut lebih berpihak kepada pemilik lahan-lahan yang luas, dan tidak men-cover petani pemilik lahan sempit/petani gurem.
“Kepentingan petani rakyat dikalahkan oleh pertanian farmer yang juga sebenarnya dalam konteks luas kalah juga oleh negara-negara lain. Dan ini problem yang terus diwariskan dari rezim ke rezim” ungkapnya
“Artinya tidak ada kebijakan-kebijakan afirmatif yang ‘radikal’ untuk menjadikan pertanian sebagai Soko Guru pembangunan Indonesia,” sambung Guru Besar Sosiologi Univeritas Muhammadiyah Yogyakarta ini.