MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA – Membuka agenda Musypimwil III Muhammadiyah Jawa Timur, Sabtu (18/9) Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengapresiasi dipilihnya tema “Merawat Nilai-Nilai Unggul Muhammadiyah di Era Pandemi”.
Menurut Haedar, tema ini dianggap penting sebab masih banyak warga Persyarikatan yang belum secara jernih memahami panduan berpikir interkoneksi Muhammadiyah, yakni memadukan dalil (bayani), akal (burhani), dan hikmah (irfani).
“Nah perpaduan ilmu dan hikmah, itulah yang perlu kita hidupkan di kala ada pagebluk, di kala ada krisis, di kala ada dinamika yang kita mungkin merasakan terlalu berat. Kalau salah satu saja, tidak cukup memadai,” kata Haedar.
Perhatian ini, khususnya disampaikan Haedar mengingat bahwa tantangan dunia di masa depan semakin kompleks. Karena itu tiga aspek bayani, burhani dan irfani itu tidak bisa diandalkan secara terpisah.
“Kalau kaum muslimin berkutat pada alam pikiran yang tunggal, bayani saja misalkan, maka akan sangat jauh kedodoran. Atau burhani saja juga sama. Atau irfani saja,” kritiknya. Haedar lantas mengutip bagaiman reaksi kaum muslimin yang cenderung gagap menghadapi realitas teknologi 4.0 ketika dunia lain justru beranjak masuk ke revolusi 5.0 hingga revolusi 6.0.
“Kehidupan kita ke depan jauh semakin kompleks ketika ilmu pengetahuan menjadi semakin sophisticated, masif, dan meluas termasuk melahirkan realitas baru yang disebut media sosial yang ini datang di tengah-tengah kita dan menjadi realitas baru yang bukan hanya mendikte tapi menghegemoni kita kemudian juga globalisasi begitu rupa hadir di tengah kita sampai ke desa-desa dan dengan alam pikiran multikulturalisme tentang demokrasi, hak asasi manusia, toleransi, pluralisme dan lain-lain maupun kehidupan modern yang diluar jangkauan kita,” terang Haedar.
Karena itu, Haedar dengan rendah hati mengajak warga Persyarikatan untuk memakai ijtihad Tarjih menggunakan alam berpikir interkoneksi antara bayani, burhani, dan irfani dalam segala aspek kehidupan.
“Ketika boleh jadi kita sekarang ini baik karena paham keagamaan yang kuat terlalu puritan, pada orientasi bayani atau pandangan keagmaaan yang terlalu rasional pada dimensi burhani, yang kemudian melahirkan dua ujung kutub yang literal konservatif dan liberal sekular, maka ada jalan tengah untuk masuknya dimensi hikmah yang dalam referensi Tarjih disebut dengan irfani,” jelasnya.
“Ini tentu perlu menjadi agenda lebih besar lagi bagi Tarjih dan Muhammadiyah dalam membaca realitas dan kenyataan bahwa baik absurditas (kegamangan) seperti kata Albert Camus tadi maupun karena kita dangkal dalam menghadapi tadi, ketika tuntunan-tuntunan Tarjih yang sudah bayani, burhani, dan irfani sudah dibikin setawasuth mungkin, sebagian kita kan juga ada yang gagap bahkan tidak mengikuti (tuntunan) Tarjih itu. Itu menunjukkan kita tidak siap dengan alam pikiran yang interkoneksi,” kritik Haedar.