MUHAMMADIYAH.ID, PERLIS – Fenomena fanatisme mazhab fikih ditengarai menjadi sebab perpecahan dan kemunduran umat Islam jauh sejak sebelum abad kesembilan Hijriyah.
Salah satu dampak fanatisme itu adalah fikih yang seharusnya menjadi perangkat menerjemahkan kemudahan dan keluasan Islam, justru menjadikan Islam terkesan sempit dan kaku.
Bertujuan memahamkan kembali posisi fikih dalam khazanah Islam yang selaras dengan peradaban, MAIPS menggelar Diskusi Peradaban Serumpun seri pertama bertajuk “Keluasan Fiqh dalam Menangani Permasalahan Umat”, Senin (27/9).
Mengawali acara, Mufti Negeri Perlis Malaysia, Dato’ Arif Perkasa Mohd Asri Zainul Abidin menyatakan Islam adalah agama yang sangat kaya dengan khazanah fikih. Fikih dalam Islam tidak terbatas pada empat imam saja. Karena itu perbedaan yang ada tidak seharusnya menjadikan umat Islam saling bermusuhan.
“Saya sampaikan hal ini agar umat Islam membuka ufuknya di dalam pemikiran untuk mengetahui kita punya khazanah Islam yang begitu besar,” kata Mohd Asri mengutip nama-nama besar seperti Ja’far As Shadiq, Al-Auza’i, Sofyan Tsauri, Al-Laits ibn Sa’ad, Sufyan ibn Uyainah, hingga berbagai karya mahsyur dalam khazanah fikih. Karena itu, tidak menisbahkan pada mazhab satu mazhab bukan berarti tidak menghormati mazhab tersebut.
Menggandeng Muhammadiyah
Dalam diskusi daring yang berpusat di Negeri Perlis Malaysia ini, turut hadir Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir sebagai narasumber kedua. Haedar Nashir menyampaikan materi bertajuk “Rekonstruksi Fiqh dalam Memecahkan Permasalahan Umat” yang berisi empat materi pokok yakni tentang Risalah Islam, Keluasan Fikih, Permasalahan Umat, dan Rekonstruksi Pemikiran dalam konstruksi Tajdid.
Bagi Mohd Asri, kerjasama antara rakyat Perlis dengan Muhammadiyah sangat bermakna untuk menguatkan persaudaraan serumpun sekaligus usaha memajukan Islam di wilayah Asean.
“Saya sebagai rakyat Perlis, Mufti Perlis dan sebagai seorang pihak pentakdir urusan agama Islam di negeri Perlis ini melihat ini adalah satu hubungan yang sangat penting di dalam sejarah umat Islam di Nusantara dalam bahasa yang diguna atau di rantau alam Melayu Islam di Asia Tenggara,” tuturnya.
“Saya mengharap hubungan yang baik. Dengan dua organisasi ini, kita akan kembali membawa umat pada taisirul fiqh (kemudahan fikih), memulai kembali umat ini hidup, mempunyai pilihan-pilihan di dalam fiqh, tetapi mereka tetap sebagai umat yang beridentiti dengan identity Islam,” imbuhnya.
Agar Umat Islam Berjaya, Rekonstruksi Pemahaman Fikih Perlu dimulai
Menyambung Mufti Negeri Perlis Mohd Azri, Haedar Nashir berterimakasih atas ruang yang diberikan oleh mufti dan rakyat Perlis. Haedar optimis, kesamaan pemikiran keagamaan di antara rakyat Perlis dan Muhammadiyah merupakan harapan untuk memajukan Islam yang maju dan mencerahkan.
“Bagaimana mufti dan masyarakat Perlis, dan bagaimana pula Muhammadiyah mengagungkan mazhab dan tidak mencela mazhab tetapi kita tidak merujuk pada satu mazhab, tapi kita menggunakan khazanah mazhab di dalam pemikiran fikih dan pemikiran Keislaman,” kata Haedar.
Haedar kemudian menyampaikan bahwa fikih telah dipahami dengan sempit sehingga perbedaan di wilayah furu’, dimaknai sebagaimana perbedaan di wilayah ushul (pokok).
Usaha bersama yang diperlukan saat ini, menurut Haedar adalah mengembalikan pemahaman umat kepada nilai dasar Islam yakni Islam adalah agama yang memudahkan umatnya dan fikih kembali pada posisi sebagai alat untuk menerjemahkan kemudahan Islam itu.
Usaha ini dianggap penting oleh Haedar sebab tantangan zaman semakin kompleks. Perangkat pemahaman agama atau fikih pun meniscayakan diikutsertakannya ilmu pengetahuan dan sains sebagai bahan pertimbangan fatwa.
Jika umat masih enggan melibatkan multi disiplin dan interkoneksi keilmuan, maka yang lahir hanyalah kejumudan beragama, dan umat akan terkungkung pada sikap yang selalu reaktif, apologis dan selalu mencari kambing hitam dari keadaan yang tidak bisa diatasi.
Mengutip pendapat ilmuwan muslim Hassan Hanafi, Haedar percaya jika rekonstruksi pemahaman fikih ini bisa dilakukan, maka umat Islam akan berjaya menghadapi dinamika zaman dan globalisasi sembari mampu menghadirkan risalah rahmatan lil-‘alamin bagi seluruh umat manusia.
“Rekonstruksi Keislaman dalam menangani masalah-masalah kehidupan meniscayakan Islam “landing” (membumi) di dunia nyata sebagaimana pemikiran yang dikembangkan Hassan Hanafi. Hanafi memberikan delapan “jalan” rekonstruksi, yaitu: From God to land, From eternity to time, From predestination to free will, From authority to reason, From theory to action, From charisma to mass-participation, From soul to body, From eschatology to futurology,” tutup Haedar.