MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Usaha internasionalisasi Muhammadiyah sejatinya tidak berjalan dalam satu atau dua dekade ke belakang, tetapi justru telah dimulai sejak masa Kiai Ahmad Dahlan.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyebut akar internasionalisasi Muhammadiyah secara personal terpantik ketika Kiai Ahmad Dahlan bersinggungan dengan pemikiran Abduh.
“Pada masa awal Kiai Dahlan, sudah dimulai program itu. Kiai Dahlan sesungguhnya juga dengan persentuhannya dengan Abduh, lahirlah nilai-nilai global yakni pemikiran-pemikiran modern yang saat itu bertumbuh dari Barat,” kata Haedar secara daring, Sabtu (21/8).
Setelah Muhammadiyah berdiri, Muhammadiyah melakukan program khusus di bidang internasional seperti mengurus bidang haji dan maskapai pelayaran yang saat itu masih dikuasai oleh kolonial.
“Kedua juga ada program-program yang dikembangkan biarpun hanya ada di dunia Islam pada saat itu. Pak Fachrudin diutus oleh PP Muhammadiyah saat itu untuk mengkaji tentang perjalanan dan pelaksanaan ibadah haji di Saudi Arabia yang sesungguhnya terkandung pesan untuk memperhatikan persoalan yang bersifat dunia Islam,” jelas Haedar.
Tokoh-tokoh teras Muhammadiyah di bidang politik juga dipersiapkan dalam peran kebangsaan untuk mewakili perjuangan Indonesia di ranah internasional.
“Kita kenal juga Agus Salim dan Prof Kahar Muzakir adalah dua tokoh diplomat Muhammadiyah, bahkan Agus Salim menjadi Menteri Luar Negeri setelah Indonesia merdeka,” ungkap Haedar.
“Mas Mansoer termasuk empat serangkai bersama Bung Karno, Bung Hatta dan Ki Hadjar Dewantara dalam memainkan peran untuk persiapan kemerdekaan Republik Indonesia yang saat itu tentu bernegosiasi dengan pemerintah Jepang di Tokyo sebagai bukti dari kehadiran tokoh Muhammadiyah melekat dengan peran yang bersifat internasional,” imbuhnya.
Peran-peran ini meskipun tidak begitu dikenal oleh masyarakat awam menurut Haedar menjadi catatan penting Muhammadiyah dalam terus melakukan kerja-kerja di bidang internasional, termasuk yang paling terakhir adalah membangun Universitas Muhammadiyah di Perlis, Malaysia.
“Sesungguhnya peran global, peran internasional yang dilakukan oleh Muhammadiyah sudah berjalan di tiap periode,” pungkasnya.
Pada era mutakhir terutama sejak tahun 2000 setelah Muktamar di Jakarta, dimulailah secara khusus peran internasionalisasi Muhammadiyah. Pertama dengan mengawali berdirinya PCIM Mesir dan PCIA Mesir pada era 2002-2003 saat itu sebagai embrio dari lahirnya Cabang Istimewa Muhammadiyah dan Aisyiyah di berbagai negara.
Pada saat itu pula, Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui ketokohan Pak Amien Rais, Pak Syafi’i Ma’arif sudah melakukan komunikasi dengan dunia internasional yang menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak hanya berbicara di panggung domestik nasional tetapi juga dalam perkembangan global.
Secara khusus, internasionalisasi Muhammadiyah merupakan amanat dari Muktamar ke-47 tahun 2015 di Makassar yang intinya agar Muhammadiyah mengembangkan program yang bersifat membuana, bersifat internasional dan mengglobal.