Drs. H. MS. Anwar Sandiah
Penasehat PWM Sulawesi Utara
Fase Kelahiran Republik (1945-1965)
Pada fase kelahiran republik, sejumlah peristiwa penting yang melibatkan tokoh Muhammadiyah tidak terelakkan lagi. Di antaranya seputar momen pembentukan fondasi negara. Salah satunya adalah momen perumusan dasar negara yakni Pancasila yang berakhir pencoretan “tujuh kata” Piagam Jakarta (versi pertama Pancasila). Peristiwa ini memicu polemik berkepanjangan.
Kemudian ada polemik yang makin meluas akibat pidato Soekarno di Amuntai pada 8 Mei 1951. Dalam pidato tersebut, menurut kalangan muslim, Soekarno menyinggung orang-orang yang hanya memperjuangkan “rukun” Pancasila yang pertama, yakni “Ketuhanan Yang Masa Esa” dan mengabaikan rukun Pancasila yang lain. Sementara protes makin membesar dari kalangan umat muslim seperti NU, GPII dan kaum muslim lain, Buya Hamka tampil sebagai mediator konflik.
Untuk meredam ketegangan, Buya Hamka menulis buku Urat Tunggang Pantjasila (1951). Buku ini berupaya menjembatani kesalahpahaman Soekarno atas tafsir Pancasila yang berkembang di kalangan umat Islam. Sekaligus juga membenahi salah kaprah seputar pemaknaan Pancasila yang berkembang di kalangan umat muslim sendiri.
Buya Hamka berupaya duduk di tengah. Ia mengatakan bahwa umat muslim tidak akan “menganggu” Pancasila selama urat tunggangnya yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa masih dipertahankan.
Buya Hamka juga menegaskan bahwa sudah menjadi tugas kaum muslim untuk menjaga Pancasila. Menurutnya, hanya pada umat muslim, usia Pancasila ditentukan. Tidak bisa dibayangkan akan seperti apa polemik seputar Pancasila andai Buya Hamka tidak ikut turun tangan mendinginkan suasana.
Fase Politik Orde Baru (1965-1998)
Era Soeharto adalah yang paling lama bertahan. Sebagai rezim otoriter, hampir semua gerakan masyarakat sipil mengalami pembatasan. Termasuk Muhammadiyah. Kendati demikian, sebagai hasil dari serangkaian pengalaman pahit oleh langkah-langkah kurang demokratis pada rezim sebelumnya,
Selama Order Baru Muhammadiyah fokus pada pendirian sekolah, perguruan tinggi dan rumah sakit. terbukti, selama era ini, peningkatan mutu amal usaha Muhammadiyah makin membaik. Kreativitas dakwah dialihkan untuk urusan umat dan jamaah Muhammadiyah.
Muhammadiyah tetap menjalankan tanggungjawabnya untuk mengontrol pemerintahan dan menolak intervensi. Tokoh Muhammadiyah seperti Buya Hamka juga tidak segan-segan menarik diri dari jabatannya sebagai Ketua MUI yang pertama ketika intervensi mulai masuk ke dalam organisasi tersebut.
Puncaknya relasi antara Muhammadiyah dan negara adalah aturan pemberlakuan asas tunggal. Beruntung, KH. AR. Fakhruddin yang menjabat Ketua Umum PP Muhammadiyah berhasil mengatasi polemik yang muncul akibat aturan tersebut.
Pada masa presiden Soeharto, tokoh dan aktivis Muhammadiyah melakukan konsolidasi kebangsaan yang melibatkan banyak unsur masyarakat sipil lain untuk mendukung agenda perubahan ke arah demokratisasi. Pangkalnya adalah gerakan reformasi antara 1996 hingga 1998 yang turut serta dibidani oleh Prof. Dr. H. Amien Rais.
Fase Reformasi (1998 – hingga sekarang)
Gelombang Reformasi yang ditandai dengan momen demokratisasi tidak lain merupakan bagian dari sejarah Muhammadiyah. Angkatan muda Muhammadiyah, cendekiawan, akademisi hingga tokoh Muhammadiyah berperan penting dalam menyebarkan gagasan-gagasan deliberasi. Contohnya, ada Amien Rais, Ahmad Syafii M’arif, Moeslim Abdurrahman, Kuntowijoyo, AM Fatwa, dan banyak lagi.
Cendekiawan Muhammadiyah tampil ke publik menyuarakan gagasan tentang hak-hak sipil, kebebasan berpendapat dan reformasi birokrasi. Meski begitu, selepas reformasi, tampuk kekuasaan ternyata tidak banyak berubah. Muhammadiyah kembali pada perbaikan internal dan pemajuan visi misi dakwah Islam.
Pada tahun 2010, Muhammadiyah merumuskan konsep jihad konstitusi, yang tujuan pokoknya adalah meluruskan produk aturan supaya harmonis dengan cita-cita Pancasila dan UUD 1945. Berkaitan dengan ini, Muhammadiyah mendapat apresiasi dari publik karena berhasil menggugat UU Migas dan UU Privatisasi Air.
Selama masa reformasi, Muhammadiyah berhasil mengukuhkan diri sebagai elemen masyarakat sipil yang paling penting. Terbukti dengan mempelopori pembentukan lembaga lingkungan hidup (kemudian menjadi Majelis Lingkungan Hidup), mitigasi kebencanaan (Sekarang bernama Muhammadiyah Disaster Management Crisis atau MDMC) dan kini selama pandemi ada Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC).
Tak kalah monumentalnya adalah pada tahun 2016 Muhammadiyah merumuskan konsep Darul Ahdi wa Syahadah. Tujuan konsep ini adalah mengukuhkan Pancasila sebagai ideologi bangsa.
***
Demikian enam fase peran kebangsaan Muhammadiyah. Sungguh bukan hanya ketika Indonesia merdeka saja, Muhammadiyah merasa memiliki bangsa ini. Tapi sudah sejak kelahiran dan pertumbuhannya.
*Artikel ini merupakan bahan ceramah pada Pengajian Virtual Majelis Tabligh-Tarjih PWM Sulawesi Utara. Turut serta Prof. Dr. Dadang Kahmad, M.Si mewakili PP Muhammadiyah mengisi tausiyah kebangsaan.
Editor: Fauzan AS