Oleh : Saud El-Hujjaj
Mendiskusi Muhammadiyah selalu tidak pernah ada habisnya. Di usia abad yang kedua ini, sudah sewajarnya bagi kita untuk instrospeksi dan restropeksi atas segala keberhasilan dan kegagalan dalam paruh abad kemaren. Tujuannya tidak lain adalah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenarnya di bumi pertiwi ini, Indonesia.
Apabila kita runut dalam satu adab kemaren, ada dua hal yang hari ini perlu kita pikirkan, mengapa Muhammadiyah belum bisa menguasai dua hal yang justru dua hal tersebut menguasasi hajat hidup orang banyak, yaitu Ekonomi dan Politik? Untuk menjawab masalah ini tidak cukup dijelaskan dalam tulisan. Akan tetapi sebagai bagaian dari refleksi pemikiran, semoga bisa menjadikan kita untuk berfikir restropektif guna mendapatkan landasan pijak bermuhammadiyah di abad ke dua ini.
Tantangan Abad Ke Dua: Resetting Global Economy
Abad kedua bagi Muhammadiyah, bersamaan dengan isu global tentang terjadinya era resetting global economy, ditandai dengan matinya raksasa ekonomi lain dengan munculnya raksasa baru dalam dunia saling mendominasi kuasa. Istilah pandemi covid 19 adalah pemantik akan new era ini datang. Orang menyebutnya dengan istlah new normal.
Dalam dunia baru ini, tentu kita semua telah terkaget kaget dan gagap dalam menghadapi situasi yang tidak terpikirkan (oleh kita) ini. Akan tetapi bagi phak lain, hal ini sdh dibaca sejak tahun 1981 yang dicatat dalam novel Dean Koonts The Eyes of Darkness (1981). Buku ini sangat jelas menyebutkan bahwa pada sekitar tahun 2020 akan terjadi penyakit semacam flu yang akan menjadi pendemi global. Dan dalam buku ini juga sudah menyebut awal mula dari pandemi itu, adalah kota Wuhan China. Pada tahun 2011 ada film karya Steven Sodenbergh dengan penulis naskah Scott Z. Burns yang berjudul Contagion ini juga meramalkan kondisi pandemik yang hampir sama persis saat ini.
Terlepas dari semua cara orang melihat, pada faktanya kita menyaksikan banyak perubahan perilaku sosial di depan mata. Pemerintah Singapore melalui Menteri Perdagangan Gan Kim Yong, Menteri Keuangan Lawrence Wong, dan Menteri Kesehatan Ong Ye Kung dalam waktu dekat sudah mengambil langkah bahwa pandemi covid 19 adalah bentuk penyakit yang sama dengan influenza, dan harus disikapi dengan cara baru (new normal). Artinya covid 19 tidak akan hilang sepenunya, dan akan bermutasi sebagaimana mestinya virus. Sikap manusia yang harus beradaptasi dengan situasi ini.
Dunia sedang berubah. Semua sedang me-resetting kehidupan. Terutama resetting ekonomi. Para teoritikus ekonomi politik menyebutnya dengan istilah deep resetting global economy. Akan muncul pemain baru, dan tenggelamnya pemain lain yang tidak bisa beradaptasi. Orang menyebutnya dengan istialh disruption era. Dalam catatan di media sosial, fenomena ini telah melahirkan 8 orang terkaya baru di dunia, yang disebut dengan trilyuner. Dan 5.000 orang kaya baru yang di belakangnya, yang disebut dengan milyuner. Kita tidak dalam rangka mendiskusikan hal ini. Akan tetapi, lebih menarik, Bagaimana kita akan mendefinisikan Gerakan Muhammadiyah ke depan? Mungkinkah Muhammadiyah akan ikut terdsirupsi dari gejala new normal ini ?
Lima Tantangan Baru: Redefining and Resolving
Ujung dari Gerakan Muhammadiyah adalah gerakan amal. Sulit untuk mengatakan bahwa Muhammadiyah akan mengalami disrupsi di satu hal. Akan tetapi sangat mungkin juga akan tertinggal dan tenggelam di lain hal. Di depan mata, begitu nyata semua orang sedang menyaksikan perubahan yang luar biasa cepat. Perilaku hidup pun berubah begitu cepat. Semua serba daring dan digital. Bahkan kantor-kantor pun sepi. Semua serba work from home (WFH). Surat, tanda tangan dan stampel digantikan dengan scan ID certified. Dan setrusnya. Itu baru dari sisi administrasi.
Dari sudut pandang politik dan ekonomi pun, pasti akan berubah. Justru awal mula semua ini dapat dikatakan ini adalah rekayasa dunia. Pengamat politik ekonomi menyebutnya dengan istilah deep state. Ada kekuatan besar baru yang sedang mencoba menata perilaku ekonomi dan politik dunia. Secara bersamaan. Kembali kita tidak dalam rangka membahas ini. Tapi bagaimana tantangan ke depan yang sangat urgent yang akan dihadapi oleh Muhammadiyah ? dan kira-kira bagaimana Muhammadiyah akan mengambil posisi dalam peta tersebut. Bahasa lainnya adalah, perlu kita definisikan ulang peran dan nilainya, kemudian tindakan kita selanjutnya apa. How to redefine and resolve ? kira-kira seperti itu.
Pertama, Teknologi 4.0. tentu Muhammadiyah akan menjadi pengikut dalam hal hulu dan hilir bisnis ini. Hulunya adalah sumber teknologinya, dan hilirnya adalah infrastruktur teknologi ini. Muhammadiyah untuk saat ini, pasti pengguna dan follower. Tapi jangan diangap remeh meskipun pengguna. Sebab, jika tidak menggunakan dan beradaptasi dengan masa ini, sudah barang pasti akan mengalami disrupsi menejemen dan ekonomi. Karena itu, mengambil peran dalam sektor ini perlu dipikirkan lebih dalam akan value repositioning dan peran aktual amal sholehnya.
Kedua, Sumberdaya konsumsi pangan. Pangan ini akan menjadi rebutan dunia. Pembicaraan ini sangat luas dan tidak cukup dalam satu penjelasan. Di level pangan ini, ada mulai dari gandum, beras, telor, gula, daging, buah, minyak, jagung, kedelai, dan barang komoditi lainya. Semua barang ini akan menjadi rebutan dan bahkan sampai level hegemoni politik pangan (kartelisasi). Jika tidak mampu mengambil semua jenis di atas, kita kembali ke kaidah ushul fiqh, maa laa yudriku kulluhu laa yutriku kulluhu.
Segala hal yang tidak bisa didapatkan semua, jangan ditinggalkan semua. Maka di level pangan ini, Islam, sebagai agama dan pedoman hidup Muhammadiyah, memiliki landasan otoritatif yang tidak bisa diintervensi oleh pihak lain. Yaitu masalah halal dan thoyyib. Jika belum bisa masuk di level hulu dan hilir pangan ini, minimal Muhammadiyah bia menggunakan otorisasi pangan tersebut melalui penilaian halal dan thoyyibnya. Sehinga khususnya umat islam, bisa memfilter segala jenis pertarungan pangan tersebut.
Ketiga, infrastruktur jaringan dan logistik. Kelihatannya ini hal yang sederhana. Tapi kekuatannya telah mengantarkan para raksasa ekonomi bertahan puluhan tahun dan me leverage di Indonesia. Kita lihat Wings Group, yang didirikan oleh Harjo Sutanto dan Ferdinand Katuari tahun 1949 di Surabaya, misalnya. Mulai terkenal dengan produsen sabun cuci yang dipakai umumnya orang Indonesia tahun 60an dengan merek ekonomi. Kemudian membangun infrastruktur jaringan melalui toko-toko kelontong di desa-desa. Setelah menguasai infrastruktur jaringan ini, dirinya me leverage dengan produk apapun saat ini, bisa dikata laris manis dan bertahan. Mulai dari Wings Care, Lion Wings, Wings food, Calbee Wings dan lainya. Sekarang bukan hanya untuk Indonesia. Akan tetapi sudah menginternasional segala.
Ada lagi perusahaan yang baru berdiri tahun 2015. Yang tumbuh sangat cepat menyebar ke seluruh nusantara dalam waktu 2 tahun. Hampir semua kecamatan yang ada counter Handphone merek Oppo, ada jaringan kurir perusahaan ini. Pantas saja, pada saat berdiri ia telah memiliki 1.025 cabang, 10.000 kurir, dan 1.000 mobil di Indonesia. Sebut dia adalah PT Global Jet Express atau yang dikenal dengan J&T Express. Kedua contoh di atas menjadi perusahaan yang bertahan dan cepat besar karena membangun infrastruktur dan jaringan logistik. Muhammadiyah, memiliki sekolah lebih dari 11 ribu di seluruh nusantara, yang baik maupun yang kembang kempis. Belum lagi pantai asuhan, kampus, rumah sakit dan yang lainnya. Ini adalah infratsruktur yang luar biasa. Mampukan Muhammadiyah memanfaatakan infrastruktur ini manjadi jaringan yang berkekuatan ekonomi ?
Keempat, Energi Baru dan Terbarukan. Beberapa Lembaga keuangan besar dan perbankan telah mengarah kepada kebijakan green credit atau sustainable finance. OJK telah mengingatkan ini sejak tahun 2014. Begitu juga Bank Dunia. Bahwa lembaga keuangan akan diberi sangsi jika masih menfasilitasi bisnis yang menimbulkan kerusakan lingkungan. Dalam hal ini yang paling disorot adalah perusahaan batubara. Dengan kata lain, ke depan bisnis berbasis fosil ini akan langka. Digantikan oleh bisnis yang berbasis renewable, yang bisa direproduksi dan menjaga alam. Hutan bukan digunduli dan diexploitasi. Akan tetapi dipelihara, diambil resources nya, dan ditanam ulang. Batu bara akan tergantikan oleh wood pellet. Perusahaan seperti Nippon Steel, sudah memperbesar pengalihan basis pembangkit listriknya ke wood pellet atau berbasis biomassa.
Perusahaan Listrik Negara (PLN) pun membuat kebijakan co-firing. Artinya dari seluruh pembangit listriknya, minimal 10% harus dioplos dengan bahan baku renewable, seperti wood pellet, ataupun dari sampah, sekam padi dan jagung yang dijadikan pellet. Bahkan ada pabrik Bir di Jawa Timur, kabarnya pun sudah membuat biomasa berbasis sekam padi ini. Di tingkat international, ada Tesla, perusahaan yang concern terhadap pengembangan energi listrik nonfosil dan mobil otonom atau self-driving. Elon Musk, CEO keempat Tesla menjual mimpi ini keseluruh dunia. Saham perusahaanya terus mengalami kenaikan. Meskipun kita semua tahu, apa yang dinarasikan Tesla baru tahap uji coba dan belum diproduksi secara massal. Mobilnya pun masih tergolong mahal. Yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa narasi tentang renewable energy ini akan semakin memimpin ke depan.
Kelima, Kesehatan dan Pendidikan. Ini adalah trade mark Muhammadiyah abad pertama. Tinggal menaikkan kualitas, layanan dan barangkali perlu, memperluas radius amal ke level internasional. Terlepas dar itu semua, pertanyaannya sama. Apakah pola dan caranya sama dengan abad pertama? Tentu jawabanya adalah tidak boleh sama. Sebab tantangan dan episteme zamannya sudah berubah. Maka pola dan perlakuannya tentu harus berbeda. Satu contoh misalnya, Muhammadiyah memiliki hampir seribu klinik dan rumah sakit. Begitu juga dengan ratusan perguruan tinggi. Perguruan tinggi kita hanya men-supply tenaga perawat, bidan, apoteker, dokter dan sedikit keahlian lain seperti tenaga laboratorium.
Belum ada satu kampus jurusan teknik industri yang memproduksi alat kesehatan. Baik kassa, tempat tidur khusus pasien, apalagi sampai jarum suntik dan alat operasi. Juga teknologi kedokteran, seperti hemodialisa dan lain sebagainya. Jauh sekali sampai bicara obat-obatan. Ini di level di mana hulu-hilir nya Muhammadiyah punya. Tapi intermediary zone, seperti yang saya sebutkan tadi, masih kosong sekali.
Bahkan sempat saya mendengar ada RS Muhammadiyah yang alkesnya di-supply oleh perusahaan alkes, yang notabene perusahaan alkes tersebut disupport oleh keuangan LDII. Belum berbicara pertanian, peternakan, dan jurusan lainnya. Perlu penajaman dan riset yang berhubungan langsung dengan kebutuhan zaman ini. Bukan mempelajari sesuatu yang sudah banyak orang beralih dan meninggalkan. Jika men-sarah pesan Kyai Dahlan, barangkali hari ini menjadi berbunyi: “raihlah Ilmu setinggi-tingginya untuk kemanfaatan manusia melalui Muhammadiyah (baca : Islam)”.
Kelima tantangan di atas, setidaknya yang akan menjadi medan pertarungan manusia abad ke dua Muhammadiyah. Tentu semua itu bergantung kembali keada Muhammadiyah. Diperlukan cara pandang masa depan dalam mendefinisikan ulang gerakan Muhammadiyah atas masalah, bukan tujuan. Sehingga Gerakan Muhammadiyah menemukan cara untuk menyelesaikan masalah manusia dan keummatan yang terus berubah. Muhammadiyah akan menjadi pusat peradaban dan kebudayaan dari sisi kebangkitan Islam dunia. Redefining and resolving.** (seh)
Editor: Fauzan AS