MUHAMMADIYAH.OR.ID, NEW DELHI— Ibu Kota Negara India, New Delhi menjadi salah satu daerah dengan muslim terpadat di India Utara. Mayoritas masyarakat muslim di sana menganut paham keagamaan seperti yang praktikan oleh Imam Abu Hanifah atau Mahdzab Hanafi.
Terkait hal itu, Mohd. Agoes Aufiya, Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) India memiliki pengalaman menarik. Agus menceritakan, ketika berjamaah salat di masjid-masjid miliki muslim India.
Pengalaman unik yang dialami oleh mahasiswa muslim asal Indonesia adalah ketika salat maghrib, isya’, maupun subuh berjamaah. Agoes menuturkan, sudah menjadi kebiasaan bagi muslim Indonesia ketika salat berjamaah yang bacaan al Fatihah imamnya jahr (keras), sebagai makmum tentu akan menjawabnya dengan aamiin yang keras pula.
“Jadi ketika mahasiswa Indonesia itu Salat Maghrib berjamaah itu biasanya di-jahr kan. Surat Al Fatihahnya dibaca nyaring dan jelas, nah diujungnya itu kalau di Indonesia kita keras jawab aamiin. Tapi kalau di mahdzab hanafi tidak dibaca keras, namun waktu itu mahasiswa Indonesia membacanya dengan keras,” seloroh Agoes
Sontak hal itu membuat mahasiswa asal Indonesia ‘kelagepan’, seusai salat mereka saling memandang satu dengan yang lain sembari muka dipenuhi tanya, dan berakhri tawa.
Berbekal pengalaman itu, ketika dirinya diminta menjadi imam salat maghrib, isya’, maupun subuh, ia beserta mahasiswa muslim asal Indonesia lain tidak lagi mengeraskan bacaan aamiin sebagaimana biasa mereka lakukan di Indonesia.
Di masjid-masjid milik umat muslim India Utara, termasuk di Kota New Delhi akan sangat sulit ditemukan jamaah perempuan yang ikut salat berjamaah di masjid. Sebagaimana penganut mahdzab Hanafi di negara-negara lain, muslim perempuan tidak diwajibkan salat jamaah di masjid.
Karena bagi mahdzab Hanafi, perempuan lebih diutamakan untuk salat di rumah. Mereka beralasan, apabila perempuan datang untuk salat jamaah di masjid akan menimbulkan fitnah. Terlebih waktu salat maghrib, isya’ dan subuh.
Meski Muhammadiyah tidak bermahdzab dan tidak anti mahdzab, dirinya dan mahasiswa muslim asal Indonesia yang rata-rata menganut mahdzab Syafi’I sontak kaget dengan hal itu. Namun demikian, mereka tetap bisa saling menerima segala perbedaan yang ada.