MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Dalam Pengajian Virtual Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Bandung, pada 13 Desember 2020 lampau, Ketua Umum Pimpunan Pusat Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir sempat menyinggung bahwa karakter warga Muhammadiyah adalah mengedepankan ilmu, hikmah dan cara yang makruf termasuk dalam konteks nahi munkar.
Haedar Nashir mengingatkan bahwa sikap warga Muhammadiyah harus senantiasa jernih dan bijaksana dalam menanggapi masalah publik. Apa yang dikemukakan Haedar Nashir sesungguhnya berdasar langsung dari cara KH. Ahmad Dahlan menanggapi kasus-kasus “penistaan agama” yang belakangan menghiasi perdebatan ruang publik di Indonesia.
Pada 1918, saat Muhammadiyah baru berusia enam tahun, KH. Ahmad Dahlan tidak mengizinkan aktivis Muhammadiyah menempuh pendekatan konfrontatif untuk menanggapi kasus “penistaan agama.” Jadi apa yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan?
Penistaan Islam oleh Surat Kabar Djawi Hisworo
Pada tanggal 11 Januari 1918, Surat Kabar berbahasa Jawa, Djawi Hiswara asal Surakarta berupaya meraih perhatian masyarakat dengan cara paling kontroversial, yaitu membakar sentimen umat Islam.
Dalam artikel bersambung nomor 4 dan 5 atau edisi 9 berjudul “Pertjakapan Marto dan Djojo”, surat kabar Djawi Hiswara menulis bahwa Nabi Muhammad adalah peminum arak dan pecandu opium.
“Kandjeng Nabi Moehammad soeka minoem tjioe A.V.H. dan isap opioem atau makan djitjing (daging anjing),” demikian kutip Mu’arif dalam buku Covering Muhammadiyah: Gerakan Islam Berkemajuan dalam Sorotan Media Massa pada Zaman Kolonial Belanda (2020).
Tak cukup menghina Nabi mulia, Djawi Hiswara juga meledek Allah sebagai “seorang perempoean djalang”. Sontak, reaksi umat Islam mulai bergolak tak hanya di wilayah Semarang saja, tapi di seluruh Hindia Belanda.
Demonstrasi berjilid muncul di mana-mana menuntut sang penulis yaitu Djojodikoro dan sang kepala redaksi Martodarsono diadili. Di Surabaya, guru Ir. Soekarno, Tjokroaminoto bahkan membentuk Tentara Kandjeng Nabi Moehammad yang didukung oleh 35.000 orang dengan dukungan dana 3.000 gulden.
Respon Muhammadiyah
Alih-alih ikut memanaskan suasana, sikap Muhammadiyah justru terbilang jernih dan moderat. Mu’arif mencatat bahwa Muhammadiyah tidak mau terlibat dalam aksi yang kontra produktif dan hanya berjangka pendek.
Melalui surat terbuka tertanggal 15 Maret 1918, KH. Ahmad Dahlan mengirimkan pesan kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Johan Paul van Limburg Stirum supaya segera menindak Djawi Hisworo.
Ditandatangani KH. Ahmad Dahlan sebagai president Hoofdbestuur (pengurus besar) Muhammadiyah dan sekretaris R. Ng. Kartopringgo, pesan itu tertulis sebagai “Soerat Terboeka dipersembahkan kehadapan Srie Padoeka jang Dipertoean Besar Gouvernour General di Hindia Nederland,” demikian Islam Bergerak (1918) mencatat.
Pilihan Muhammadiyah untuk fokus pada aksi yang lebih bermanfaat nampaknya tepat, sebab pada akhirnya sang penulis Djojodikoro dan sang kepala redaksi Martodarsono tidak pernah dibawa ke pengadilan. Umat muslim yang turun dalam aksi berjilid-jilid pun telah capai dan merasa bosan.
Sementara itu Muhammadiyah tidak terpengaruh dan tetap fokus melakukan amal nyata dengan membangun berbagai divisi keumatan, termasuk membentuk PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) yang kelak mendampingi masyarakat terdampak letusan Gunung Kelud pada tahun 1919.
Editor: Fauzan AS