MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Pandemi covid-19 terjadi bukan tanpa alasan. Datangnya pandemi ini justru jadi sinyal bahwa bumi sedang tak baik-baik aja. Nana Firman, Aktivis Lingkungan dari Muhammadiyah ini menjelaskan betapa pentingnya menjaga bumi untuk kelangsungan hidup masa depan.
Nana Firman dalam hal edukasi dirinya lebih senang berfokus pada anak-anak muda dan kepada kaum ibu. Mengapa kaum ibu? Karena kaum ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya.
“Kalau ibu-ibunya ngerti insyaAllah kita melahirkan generasi yang memahami bahwa kita harus menjaga bumi ini melestarikan alam ini,” kata Nana yang juga pernah menjabat sebagai Pengurus Muhammadiyah bidang Budaya, Ahad (14/3), pada kegiatan Ngaji Lingkungan LLHPB PP ‘Aisyiyah.
Maka menurutnya agen perubahan terbaik dan terefektif untuk perubahan dan penjagaan lingkungan sekarang ini adalah anak-anak muda dan kaum ibu.
Kepada Ibu-ibu ‘Aisyiyah, Nana mengatakan Indonesia hanya punya 1,3% dari permukaan tanah didunia tetapi merupakan salah satu negara terkaya di dunia dalam hal keanekaragaman hayatinya. Berada di peringkat 2 kekayaan di darat setelah Brazil dan peringkat 1 untuk kekayaan di laut.
Artinya Indonesia memiliki tanggung jawab yang cukup berat dalam menjaga kelestarian lingkungannya karena berpengaruh pada iklim dunia. Mengapa bisa begitu?
“Kalau berbicara perubahan iklim yang sering dibicarakan adalah naiknya emisi karbondioksida di atmosfer kita akibat dari aktivitas manusia seperti penggunaan minyak bumi, batu bara, dan lain sebagainya. Itu semakin banyak karena pembangunan banyak dilakukan sejak adanya revolusi industri di eropa 200 tahun yang lalu dan kemudian diikuti oleh negara-negara yang berkembang untuk menggunakan energi fosil tadi,” terang Nana yang juga anggota Green Faith International ini.
Ada lima negara yang berkontribusi komposisi hutan tropis paling penting di dunia, yakni, Brazil, Columbia, Peru, Republik Demokratik Kongo dan Indonesia. Maka, kelima negara tersebut juga sering disebut dengan paru-paru bumi.
“Sayangnya hutan Indonesia mengalami deforestasi jadi hutan kita dibabat atau dialih fungsikan lahannya menjadi fungsi lain dan ketika itu terjadi berarti kita menghilangkan penyerap-penyerap karbon tadi karena pohon-pohonnya hilang sehingga karbondioksidanya tetap bertebangan di udara dan oksigen tidak bertambah juga karena pohon-pohonnya sudah tidak ada. Kemudian ditambah lagi bila ada kebakaran hutan berarti kita memproduksi lagi emisi karbon dan paling parahnya kalau kita mengalami kebakaran hutan di lahan gambut seperti di Riau, Kalimantan Tengah, Barat, dan Timur itu seperti lagi membakar lahan karbon karena lahan gambut itu banyak karbonnya sehingga Indonesia sering kali dituduh sebagai memproduksi banyak emisi di di dunia padahal kita tidak banyak produksi industry seperti di Eropa atau Amerika,” jelasnya.
Tidak hanya berdampak pada udara, Nana melanjutkan, ketika kita membabat hutan akhirnya lahan hutan berkurang berpengaruh pada hewan-hewan. Hewan-hewan yang sebelumnya tidak berinteraksi dengan manusia jadi berinteraksi dengan manusia lalu munculnya penyakit yang diberi nama zoonotic yang salah satu bentuknya adalah virus corona covid-19 yang sekarang ini sedang kita alami.
“Tapi ternyata pandemi ini belum ada apa-apanya kalau dilihat dari pandangan yang lebih luas lagi. Jika digambarkan seperti ombak tsunami, adanya pandemi adalah gelombang terkecil. Gelombang kedua digambarkan dengan resesi ekonomi, gelombang ketiga mulai terjadi krisis iklim dan gelombang keempat terjadinya kehancuran hayati,” papar Nana.
Tentunya kita tidak ingin semua hal itu terjadi, Maka menjaga bumi ini dimulai dari diri sendiri dan lingkungan sekitar akan membantu menjaga agar tidak terjadi kehancuran dunia.