MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Pemahaman Kiai Dahlan terhadap ayat 9 sampai ayat 11 Surat Ad Dhuha melatarbelakangi metode yang dipakai oleh beliau dalam menolong kaum dhuafa.
Ustaz Muhammad Damami Zein dalam Pengajian Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Sabtu (20/3) menuturkan bahwa tiga ayat tersebut sejatinya merangkum psikologi kaum dhuafa.
Menurut Damami, Kiai Ahmad Dahlan menangkap dengan baik makna tersirat dalam ayat tersebut.
Dalam Surat Ad Dhuha sendiri, ayat 9 berisi larangan berlaku sewenang-wenang pada anak yatim. Ayat 10 berisi tentang larangan menghardik orang yang meminta pertolongan. Sedangkan ayat 11 berisi tentang perintah bersyukur terhadap nikmat yang dikaruniakan Tuhan.
“Makanya sudah bener itu jangan kamu kerasi, jangan kamu kasari dengan mimikmu atau dengan ucapanmu,” ujar Damami mengutip ayat ke-9.
“Jangan kau tambah dengan ucapan kasar itu dan terhadap orang yang terang-terangan minta, jangan kamu gertak. Jagalah perasaannya,” imbuh Damami mengutip ayat ke-10.
Atas pemahaman terhadap dua ayat ini, Kiai Dahlan menurut Damami selalu berusaha menolong kaum lemah dengan cara yang tidak mengesankan bahwa mereka yang ditolong memiliki derajat lebih rendah daripada mereka yang menolong.
Dua ayat di atas, lanjut Damami terkait dengan ayat ke-10 yang berisi tentang perintah bersyukur. Perintah itu menurutnya bukan semata ucapan lisan, tapi tindakan agar kaum lemah dibimbing sampai dapat keluar dari keadaan yang terbelakang.
“Kalau sudah dapat nikmat, maka ceritakan itu (caranya) yang dalam bahasa modern ilmu ekonomi disebut motivator, isinya ada tiga 3,” terang Damami.
Pertama yaitu manajemen kerja. Orang-orang lemah ini diajari agar pengeluaran harian tidak lebih besar dari pendapatan sehingga memiliki selisih yang bisa ditabung.
Kedua, diajari manajemen keuangan yaitu orang-orang lemah dipahamkan untuk membelanjakan uang yang dimiliki berdasarkan kebutuhan dan resiko.
Dan yang ketiga, diajari manajemen hidup yang selaras dengan keimanan, yaitu memperhatikan zakat dan sedekah.
“Ini yang artinya fahaddist (mengabarkan nikmat). Salah besar itu kalau menafsirkan ‘fahaddist’ dengan menceritakan ke orang tentang nikmatnya, bukan cara manajemennya,” tutup Damami.