MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Dalam menghadapi tantangan zaman, pengkajian tafsir Al-Qur’an terus dilakukan untuk menemukan berbagai makna baru.
Akan tetapi, penafsiran Al-Qur’an tidak bisa dilakukan sembarangan hanya dengan satu disiplin ilmu saja. Jika nekat melakukannya, justru akan melahirkan tafsir liberal yang keliru dan berbahaya bagi keimanan seorang muslim.
“Untuk menjadi mufasir minimal harus menguasai 12 ilmu. Tidak bisa seorang menjadi mufasir. Dia harus menguasai ilmu sabanun nuzul. Sebab kalau kita tidak tahu maka kita akan rancu, dan kacau dalam menentukan hukum,” jelas Sekretaris Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Okrisal Eka Putra dalam Kajian Kamis Pagi Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Kamis (21/1).
Secara umum, ada 15 disiplin ilmu yang harus dipelajari untuk menafsirkan Al-Qur’an dari filologi, tata bahasa, morfologi, akar kata, susunan kata, hukum Islam dan lain-lain hingga sebab-sebab turunnya ayat (Asbabun Nuzul).
Sebagai contoh, Okrisal mengutip Surat Al-Baqarah ayat 221 tentang larangan pernikahan berbeda keyakinan. Para ahli tafsir dengan penguasaan minimal 12 ilmu tafsir menyimpulkan bahwa pernikahan beda keyakinan adalah haram.
Sementara itu, kurangnya ilmu tafsir justru membuat adanya sebagian cendekiawan yang justru menyimpulkan bolehnya menikah berbeda keyakinan karena mengaitkan dengan kondisi peperangan pada zaman tersebut.
Padahal, sesuai Asbabun Nuzul Al-Baqarah ayat 221 turun sebagai jawaban Allah atas permohonan sahabat bernama Ibnu Abi Murtsid Al-Ghanawi yang meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menikahi wanita musyrik yang cantik dan terpandang.
“Makanya untuk menjadi ahli tafsir, kita membutuhkan beberapa ilmu yang mendukung ilmu tersebut,” pesannya. (afn)