MUHAMMADIYAH.OR.ID, MALANG – Seringkali masyarakat tampil korektif namun tidak memberikan alternatif. Kita juga lebih sering berpikir kritis tanpa diikuti dengan jalan keluar yang bisa dipilih. Begitu dikatakan Abdul Mu’ti saat membuka materi dalam Pengajian Rutin Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) secara daring.
Lebih dalam, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah ini juga membahas mengenai perbedaan amar ma’ruf dan nahi munkar. Kata ma’ruf, dalam penjelasannya bisa diartikan sebagai hal yang dikenal baik oleh masyarkat. Bisa juga diartikan sebagai kebenaran yang sesuai dengan tuntunan hukum agama.
“Ma’ruf adalah kebenaran yang diekspresikan dengan benar. Jadi, jika kita melihat dari sisi sematik, pengertian dari ma’ruf ini kebanyakan mengarah pada hal yang positif,” tuturnya, Jum’at (18/12).
Berbeda dengan ma’ruf, munkar memiliki arti sebaliknya. Biasanya ia diterjemahkan menjadi hal yang asing bagi masyarakat atau tidak benar secara hukum, khususnya hukum islam. Adapun Nahi dalam hal ini merujuk pada perbuatan yang preventif.
“Nahi itu lebih tepat dipahami sebagai cara membendung perbuatan yang dilarang, bukan memperbaiki perbuatan buruk yang sudah terjadi,” tandasnya.
Makna Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Pria yang juga menjadi ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) itu menyebut bahwa Muhammadiyah punya cara sendiri untuk memaknai Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan diniyah. Kedua, Muhammadiyah adalah gerakan yang selalu berlandaskan pada ilmu. Kemudian terakhir, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah yang berbudaya.
Ia juga sempat menyebutkan beberapa kejadan historis bagaimana pendiri Muhammdiyah menghadapi perbedaan dan masalah. Salah satunya saat K.H Ahmad Dahlan merasa bahwa arah kiblat Masjid Agung Yogyakarta berbeda dengan ilmu yang ia yakini. Ia tidak langsung merubahnya secara revolusioner, tapi mengedepankan diskusi yang berlandaskan ilmu.
“Ini bukti bahwa Muhammadiyah tidak asal bergerak, tapi selalu menomorsatukan aspek keilmuan,” paparnya.
Abdul Mu’ti kembali menerangkan bahwa Muhammadiyah harus selalu mengajak masyarakat pada ishlah. Ajakan ini harus dibarengi dengan ekspresi yang benar pula agar tidak timbul kesan buruk.
“Menghadapi situasi akhir-akhir ini, kita dituntut untuk selalu mengajak pada ishlah. Bukan malah masuk di salah satu kubu dan membuat masalah lain,” pungkasnya di akhir materi.