MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Akhir-akhir ini, ada kecenderungan beberapa orang yang ingin mempercepat kematian pasien melalui fasilitas medis. Perkembangan ilmu medis paling mutakhir dapat segera diketahui bahwa adakalanya pasien yang sakit parah, dokter sudah bisa memastikan bahwa pasien tersebut tak dapat disembuhkan lagi. Pada tahun 2017, misalnya, seorang pria asal Aceh meminta agar kematiannya dipercepat lantaran penyakit kronis yang dideritanya.
Ikhtiar dalam menanggapi isu ini, Musyawarah Nasional Tarjih membahas tentang euthanasia atau terminasi hidup. Syamsul Anwar dalam sidang pleno Komisi V Munas Tarjih ke-31 menjelaskan bahwa euthanasi adalah perbuatan mengakhiri hidup pasien yang dilakukan oleh dokter sendiri atau oleh pasien yang dibantu dokter dengan sengaja atas dasar belas kasih.
“Jadi euthanasia itu tindakan-tindakan mengakhiri hidup yang dilakukan oleh dokter, atau pasien itu sendiri yang dibantu dokter, dalam konteks medis atas dasar belas kasih guna membebaskannya dari penderitaan,” terang Syamsul Anwar pada Sabtu (19/12).
Isu tentang mengakhiri hidup menimbulkan persoalan yang sukar dicari jalan keluarnya. Persoalan ini ditambah rumit dengan perkembangan teknologi dan ilmu kedokteran yang telah memungkinkan menciptakan alat-alat untuk mempercepat kematian seseorang.
Apalagi dengan adanya perubahan fundamental hubungan antara pasien-dokter yang sebelumnya bersifat paternalistik menjadi otonomi, semakin sukar mencari solusi atas problem kemanusiaan ini. “Perlu diperhatikan juga hubungan dokter dan pasien yang bersifat otonomi. Pasien bisa memilih akan meneruskan pengobatan atau tidak,” kata Syamsul Anwar.
Beberapa kalangan yang mendukung legalitas euthanasia berpandangan bahwa penentukan nasib sendiri adalah hak fundamental manusia, sekalipun hak tersebut berbeda antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain. Dengan etika individualisme, seorang pasien memiliki hak untuk membuat keputusan tentang kapan dan bagaimana mereka harus mati, berdasarkan prinsip-prinsip otonomi dan penentuan nasib sendiri.
Dalam konsepsi Islam, terang Syamsul Anwar, hidup manusia itu adalah anugerah Allah yang harus dipelihara dan dilindungi (QS. Al-Mulk: 2) sehingga persoalan menghidupkan dan mematikan itu adalah hak Allah (QS. Al-Taubah: 116). Status manusia sebagai makhluk Allah tidak memiliki hak untuk menentukan hidup dan kematiannya. Hal Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, manusia tidak sepenuhnya otonom.
“Seperti halnya kita tidak boleh mengintervensi hidup seseorang, maka kita juga tidak boleh mengintervensi proses kematian yang berlangsung secara alamiah,” tutur Syamsul Anwar. (Ilham)