MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Dalam persoalan agraria, rakyat kecil sering menjadi korbannya. Penderitaan itu lebih dirasakan lagi oleh petani kecil dan masyarakat adat yang hak-hak dan kearifan lokal mereka dalam pengelolaan tanah sering dikesampingkan. Reforma yang dilakukan pemerintah selama ini dianggap tak menyelesaikan konflik lahan di masyarakat. Persekongkolan kartel para pemodal dengan oknum negara bisa saja ada di balik kezaliman itu.
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Mohammad Soehada mengungkapkan bahwa inti dari Fikih Agraria pada hakikatnya dibentuk sebagai roadmap menghadapi tantangan di atas. Dimulai dengan memaparkan wawasan keagrariaan dalam khazanah klasik yang digali para ulama dari Alquran dan Hadis. Kitab-kitab fikih dipenuhi uraian soal perkaplingan (iqtha’), menghidupkan tanah mati (ihya al-mawat), tanah untuk kepentingan umum (hima’), dan tatakelola irigasi air pada lahan (miyah al-aradli).
“Dalam khazanah klasik Islam ada dua prinsip penting yakni; Pertama, Islam menghadirkan ketentuan yang sangat detail tentang tanah. Setiap orang berhak memiliki tanah dan negara wajib menghadirkan kepemilikan itu. Kedua, Islam selanjutnya memberikan ketentuan bahwa tanah yang dimiliki seseorang tidak boleh dibiarkan tanpa pengelolaan sehingga menjadi tanah mati. Hal ini menunjukan bahwa persoalan agraria sudah menjadi concern umat Islam bahkan sejak masa Rasulullah,” terang Soehada saat ditemui pada sela-sela kegiatan Munas Tarjih ke-31 pada Sabtu (19/12).
Berdasarkan Manhaj Tarjih sebagai kerangka besar ‘Fikih Muhammadiyah’, Fikih Agraria dibangun dengan memperhatikan dua asumsi metodologis. Pertama, asumsi integralistik; bahwa dalil-dalil saling menguatkan secara korobiratif sehingga membentuk norma-norma. Norma yang ditarik secara istiqra’ dari dali-dalil relevan itu kemudian disusun dengan memperhatikan metode yang kedua yaitu: asumsi hierarkis. Artinya, norma-norma itu disusun mulai dari nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah), kemudian prinsip-prinsip umum (al-ushul al-kulliyah), hingga ketentuan hukum praktis (al-ahkam al-far’iyyah). Dengan landasan metodologi seperti ini, cakupan dari Fikih Agraria menjadi cukup luas/
Karenanya, terang Soehada, ada tiga ranah penting pengamalan Fikih Agraria. Pertama, edukasi, baik kepada rakyat, pengusaha, maupun negara. “Termasuk hal ini adalah edukasi kepada umat bahwa persoalan agraria adalah bagian penting dari ‘isu umat Islam’ layaknya kerusakan moral,” kata Soehada.
Selain itu, adapula advokasi dan regulasi, yakni upaya pendampingan kepada para korban termasuk upaya-upaya hukum dengan melakukan judicial review pada pasal-pasal bersamalah semisal Pasal 67 UU 41/1999 tentang Kehutanan. Fikih Agraria juga memberikan rekomendasi amal bagi negara, penguasan, hingga keluarga dan individu. Rekomendasi-rekomendasi itu jika dilakukan akan sangat membantu pengentasan problem agraria di tanah air.
Dalam reaktualisasi wakaf agraria, misalnya, fikih ini memanfaatkan tanah wakaf dengan ikrar mutlak bukan hanya diperuntukkan tempat ibadah, tapi juga bisa untuk kepentingan kemanusiaan, seperti untuk dimanfaatkan petani kecil, wakaf untuk kedaulatan pangan, dan wakaf hutan untuk pelestarian lingkungan. (Ilham)