MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Dinasti Fatimiyah adalah sebuah kerajaan Syiah Ismailiyyah yang berkuasa di Mesir pada abad ke-10 dan ke-11 Masehi. Setelah mereka berhasil menguasai sebagian kawasan Afrika Utara bahkan sempat mendiami tanah Haram di Madinah, tujuan selanjutnya dan paling utama adalah menguasai Baghdad yang menjadi pusat kekuasaan Dinasti Abbasiyah.
Namun, sebelum masuk ke wilayah Abbasiyah, wafatnya Al Mustansir, Khalifah Fatimiyyah, mengakibatkan perpecahan sehingga melahirkan dua sekte: 1) gerakan al-Musta’li atau dikenal dengan al-Batiniyyah al-Qadimah yang berpusat di Mesir dan berada di wilayah Yaman dan India; dan 2) gerakan Nizari atau dikenal dengan al-Batiniyyah al-Jadidah yang berpusat di Iran Utara dan berada di kawasan Syam, Irak, dan Iran. Keduanya memiliki corak yang berbeda: Musta’liyyah fokus mengembangkan hukum dan ilmu pengetahuan, sementara Nizariyyah fokus memperkuat basis militer dan satuan khusus.
Pada tahun 1090 setelah tokoh Syiah Ismailiyyah Hassan Sabbah berhasil menguasai benteng Alamut (di dekat laut Kaspia), ia bergabung dengan aliran Nizari. Kehadirannya melancarkan program kekerasan dan terror yang kemudian dikenal dengan sebutan Hasyasyun atau Asasin.
Menurut Muhamad Rofiq Muzakkir, istilah Asasin dipakai pertama kali oleh Khalifah Fatimiyyah yang bernama Amir Biahkamillah (524 H) yang beraliran Musta’liyyah. Istilah ini merupakan “olok-olokan” dari Musta’liyyah terhadap orang-orang Nizari yang kelaparan sampai memakan rumput (hasyiyah). Mereka kelaparan disebabkan perang melawan gerakan Musta’liyyah yang menguasai Kekhilafahan Fatimiyyah. Ada juga yang menyebut istilah Asasin ini merujuk pada kebiasaan orang-orang Nizari mengkonsumsi ganja (hasyisy) sebelum melakukan teror.
“Nazari biasa menggunakan ganja untuk menyuntikkan keberanian kepada pasukan aksi teror. Hassan Sabbah, pemimpin gerakan ini, membangun taman bunga dan buah dengan istana megah dan dipenuhi perempuan cantik. Pasukan aksi terror menikmati semuanya dengan ganja,” ucap Rofiq dalam kajian tentang Al Ghazali yang diselenggarakan PCIM Amerika Serikat dan Center for Integrative Science and Islamic Civilization (CISIC) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Sabtu (05/11).
Asasin ini dikenal sebagai kelompok Martir, atau manusia yang siap mati. Layaknya sebuah pasukan elite, anggota Asasin ini diwajibkan memiliki sejumlah kemampuan istimewa, mulai dari pengintaian maupun penyusupan, bahkan membunuh secara mengerikan. Tokoh-tokoh yang terbunuh oleh kelompok Asasin Nizari Ismaili ini tidak main-main, antara lain: Al-Amir Biahkamillah (Imam Aliran Musta’liyah dan Khalifah Fatimiyyah); Al-Mustarshid dan al-Rasyid (khalifah Abbasiyah); Nizam al-Mulk (perdana Menteri pendiri Nizamiyyah), dan para Qadhi serta Mufti lainnya.
Aliran Nizari yang membentuk satuan khusus bernama Asasin ini juga memiliki doktrin teologi. Selain menciptakan terror, mereka juga menyebarkan paham-paham agama ke wilayah Musta’liyyah dan Abbasiyah. Misalnya: kewajiban agama sudah diangkat dari pengikut Imam Maksum dari aliran Nizari; manusia tidak lagi wajib melakukan ritual (salat, puasa, zakat, haji), cukup beribadah dengan hati; meyakini adanya proses reinkarnasi, kebenaran hanya tersingkap melalui lisan Hassan bin Sabbah, dan lain-lain.
Perlawanan Madrasah Nizhamiyyah
Setelah aliran Buwaihiyyah dari gerakan Syiah Itsna ‘Asyariyyah pada tahun 1055 M tidak lagi menguasai Abbasiyyah, teror terhadap Dinasti Saljuq datang dari aliran Syiah Ismailiyyah terutama dari gerakan Batini Nizari di Iran Utara dan Batini Musta’li di Mesir. Penguasa Dinasti Saljuq yang memerintah Kekhilafahan Abbasiyah kemudian membangun sekolah-sekolah ideologis dengan sebutan Madrasah Nizhamiyah. Menurut Rofiq, salah satu tujuan Nizham al-Mulk mendirikan sistem madrasah ini adalah untuk menjaga konsepsi tentang Khilafah Islamiyyah Sunni di bawah dinasti Abbas, dan melindunginya dari intrusi kaum Syiah Batini.
“Akademia Madrasah Nizhamiyyah ini lahir sebagai benteng pertahanan Sunnisme (Kesunnian), karena ada tantangan besar dari Syiah Batiniyyah. Sekolah ini merupakan gerakan intelektual yang hadir di sembilan tempat seperti Baghdad, Nishapur, dan lain-lain,” terang Rofiq.
Sistem madrasah adalah jaringan para ulama yang menjaga identitas kesunnian dunia Islam melawan tantangan dari dunia luar non-sunni. Dengan didirikannya Madrasah Nizhamiyah ini banyak ulama yang bisa mengimbangi ajaran Syiah Ismailiyyah. Ada dua jenis ‘pertarungan intelektual’ untuk melakukan counter narasi terhadap Ismaili: 1) melakukan munazara (debat intelektual); 2) melakukan kritik terbuka terhadap paham mereka. Hamid Al-Ghazali melakukan keduanya. Ia berdebat, seperti dalam kitab al-Qisthas al-Mustaqim dan al Munqidz min al-Dhalal, dan mengkritiknya seperti dalam kitab Fadhaih al-Bathiniyyah wa Fadhail al-Mustazhiriyyah.
Setelah al-Ghazali menghujam kritik, penetrasi Batiniyyah mulai menyusut. Tidak ada lagi surat kaleng ancaman pembunuhan terhadap para pemimpin agama dan negara. Hal tersebut dibuktikan karena dua hal: Khalifah al-Mustazhir langgeng berkuasa selama 25 tahun, dan hubungan Kesultanan Saljuq dan Kekhilafahan Abbasiyah terjalin harmonis karena diikat oleh “Sunni” dan merasa punya musuh bersama yaitu “Syiah”.