oleh : Ilham Ibrahim
Selama satu abad keberadaannnya, Muhammadiyah telah memberikan kontribusi yang sangat besar terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, filantropi, dan kesejahteraan sosial. Tidak hanya untuk masyarakat Muslim, tapi juga semua golongan dan agama. Menurut Mitsuo Nakamura, Muhammadiyah menjadi organisasi Islam terpenting di negeri ini dan menjadi representasi suara Islam moderat. Di tingkat global, barangkali tak ada organisasi Islam modern yang bisa menandingi amal usaha Muhammadiyah.
Faktor utama yang menjadikan Persyarikatan ini tahan banting ialah elegannya budaya musyawarah di Muhammadiyah. Sejak awal berdirinya pada 1912 hingga kini, Muhammadiyah sudah pernah mengadakan permusyawaratan tertinggi sebanyak 47 kali. Pada tahun-tahun pertama istilah musyarawah ini menggunakan Bahasa Belanda, yaitu “Algemene Vergadering” atau “Jaarvergadering”. Di tahun-tahun selanjutnya menggunakan istilah “Perkumpulan Tahunan”, “Congres”, dan terakhir yang sampai saat ini masih digunakan “Muktamar”.
Menurut Ridho Al-Hamdi, sejak tahun 1912 hingga 1941, algemene vergadering/jaarvergadering atau kongres selalu rutin diadakan setiap setahun sekali. Sejak 1950 hingga 1978, Muktamar rutin diadakan tiap tiga tahun sekali (kecuali antara 1971-1974). Sejak 1985 hingga sekarang, Muktamar selalu diadakan rutin setiap lima tahun sekali. Perubahan periodisasi permusyawaratan di Muhammadiyah terjadi secara bertahap mulai dari satu tahunan, lalu tiga tahunan, dan akhirnya lima tahunan. Track record ini menunjukan bahwa budaya musyawarah benar-benar hidup dan terawat di Muhammadiyah.
Tidak berlebihan bila mengatakan kehidupan musyawarah di tubuh Muhammadiyah tidak lagi hanya sebatas angan-angan teoritik. Praktik bermusyawarah yang selama ini dijalankan Muhammadiyah begitu luar biasa. Bagaimana tidak, dengan melimpahnya tanah wakaf, banyaknya amal usaha, dan jumlah pengikutnya yang tersebar sampai pelosok-pelosok tanah air, semestinya dalam setiap ajang rapat kebijakan organisasi terjadi konflik dan tarik ulur kepentingan. Namun, kader Muhammadiyah sejak dini ditanamkan doktrin agar jangan sampai mencari kehidupan di Muhammadiyah. Maksudnya, jangan mendahulukan kepentingan personal yang mengabaikan kemaslahatan komunal.
Ada banyak pergerakan yang memiliki kekuatan politik dan kesiapan finansial namun berakhir punah. Apalagi jika pergerakkan tersebut hasil perselingkuhan antara birokrat dan korporat yang sarat dengan intrik dan kepentingan pribadi. Tidak sedikit pergerakan yang akhirnya tumbang karena tidak mampu menyelesaikan selisih pendapat dan benturan kepentingan. Banyak juga organisasi yang dalam pelaksanaan musyawarahnya berujung saling lempar kursi, adu mulut sumpah serapah, atau meninggalkan ruang sidang.
Contoh paling aktual betapa elegannya cara Muhammadiyah bermusyawarah ditunjukkan ketika sidang Tanwir Muhammadiyah-‘Aisyiyah jilid II ke secara daring. Mengambil tema ‘Optimis Hadapi Covid-19 Menuju Sukses Muktamar ke-48’, ajang rapat kebijakan organisasi tertinggi setelah Muktamar ini berlangsung khidmat, tenang, dan teduh. Setiap pertimbangan dan pendapat dari para peserta sidang, senantiasa didengarkan dan disimak secara baik. Semangat kebersamaan dan kekeluargaan begitu terasa lindap tanpa ada sedikitpun hawa persaingan dan kompetisi.
Padahal, sebagai forum evaluasi terhadap pelaksanaan keputusan Muktamar dan membahas berbagai agenda penting persyarikatan, pelaksanaan Sidang Tanwir Muhammadiyah-Aisyiyah jilid II tentu begitu seksi untuk menyempilkan kepentingan-kepentingan pribadi. Singkatnya, Sidang Tanwir merupakan kegiatan yang menggiurkan baik secara politik, sosial maupun ekonomi. Namun, mereka yang hadir justru saling berunding dan berembuk pendapat untuk mencari jalan keluar bersama tanpa ada intrik-intrik menyisipkan kepentingan pribadi.
Dalam Tanwir II tersebut, isu yang diangkat mengenai teknis pelaksanaan Muktamar di tengah Pandemi Covid-19. Setelah dua hari sidang dari 04 s/d 05 September 2021, Sidang Tanwir II ini setidaknya menghasilkan enam poin dengan kesimpulan: Muktamar Muhammadiyah-‘Aisyiyah ke-48 dilaksanakan pada hari Jumat–Ahad, 18–20 November 2022 M di Kota Surakarta Jawa Tengah, teknisnya dilaksanakan secara luring dan daring, dan pemilihan anggota PP Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah dilaksanakan dengan cara e-voting.
Setelah keputusan Tanwir II ini dibacakan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, segenap lapisan warga Persyarikatan menerima dengan lapang dada. Fenomena ini sekali lagi menegaskan bahwa Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern benar-benar dewasa dalam ruang musyawarah. Karenanya, orang yang lebih mengedepankan egoismenya ketimbang kebesaran hati untuk berdialog demi mencapai kesepakatan bersama tidak akan mendapat tempat yang terhormat di Muhammadiyah.
Dengan demikian tidak salah jika kunci kekuatan Muhammadiyah yang telah berdiri sejak tahun 1912 terletak pada elegannya cara mereka bermusyawarah. Melimpahnya amal usaha yang dimiliki Muhammadiyah tidak lain karena dalam proses musyawarah persyarikatan selalu mengedepankan etika bukan prasangka dan mendahulukan kebaikan komunal bukan personal. Muhammadiyah telah belajar dari berbagai pergerakan bahwa keributan dan segala konflik yang terjadi hanya akan menghasilkan kerugian.
Hits: 160