MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Peran dan tanggung jawab manusia sebagai individu di dunia adalah hidup baik, yang di dalam Al-Quran disebut dengan hayah thayyibah. Dalam Surat An-Nahl Ayat 97 dan Al Baqarah ayat 62, hayah thayyibah hanya bisa diperoleh dengan kesungguhan iman dan amal saleh.
Sementara itu, kriteria hayah thayyibah dalam tafsir para Sahabat bermacam-macam. Ibnu Abbas mengatakan hayah thayyibah adalah mendapatkan rizki yang halal, Ali bin Abi Thalib mengatakan kepuasan, dan Ibnu Abbas dalam riwayat yang lain menyebut kebahagiaan. Jika digabungkan ketiga pendapat ini, maka hayah thayyibah adalah memperoleh rizki yang halal, mendapatkan kepuasan, dan merasakan kebahagiaan.
“Hidup baik itu berarti sebagai pribadi harus mendapatkan dan mencari rizki yang halal, memiliki hati yang puas, dan mendapatkan kebahagiaan,” terang Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Hamim Ilyas dalam acara Tarjih Menjawab pada Sabtu (09/04).
Indikator hayah thayyibah dari tafsiran para Sahabat harus pula dibarengi dengan konsepsi Islam tentang rahmat. Hamim menjelaskan rahmat adalah riqqah taqtadhi al-ihsan ila al-marhum, perasaan halus (kasih) yang mendorong memberikan kebaikan kepada yang dikasihi. Hal ini berarti dorongan agar bersikap lemah lembut, tidak mudah marah, suka menolong, menghargai orang lain, dan lain-lain adalah sikap rahmat.
“Kalau kita baca Al Quran, manusia itu harus bisa menjadi pribadi rahmat. Jadi kalau kita tidak lemah lembut, suka melaknat orang lain, dan bukan pribadi yang pemaaf itu berarti belum mendapatkan rahmat dari Allah,” ujar dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.
Tidak heran begitu banyak perintah di dalam hadis maupun Quran yang mendorong agar umat Islam menjadi pribadi yang rahmat. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah ra., Nabi saw. menegaskan bahwa dia tidak diutus untuk menjadi tukang laknat, tapi untuk menjadi rahmat. Dalam surat al-Anbiya’ ayat 107 ditegaskan bahwa Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam.
Hamim juga mengungkapkan tiga kriteria rahmat, yaitu: lahum ajruhum ‘inda rabbihim (sejahtera sesejahtera-sejahteranya/ar-rafahiyyah kulluha), wa la khaufun ‘alaihim (damai sedamai-damainya/as-salamu kulluha), dan wa la hum yahzanun (bahagia sebahagia-bahagianya/as-sa’adatu kulluha) di dunia dan di akhirat. Karenanya, paradigma Islam rahmatan lil’alamin adalah menyejahterakan, mendamaikan, dan membahagiakan.
“Umat Islam sebagai masyarakat diberi amanat oleh Allah harus menjadi masyarakat pilihan yang menciptakan rahmat, menjadi saksi atas manusia. Di Muhammadiyah yang dimaksud dengan saksi adalah pelaku sejarah bukan sebagai penonton,” tutur Hamim.
Hits: 386