MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) disebutkan, Agama adalah apa yang disyariatkan Allah dengan perantaraan nabi-nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan berupa petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat. Karena itu, Ketua PP Muhammadiyah Syamsul Anwar menegaskan bahwa sumber hukum agama mesti dari Al Quran dan Al Sunah, ditambah sumber-sumber pendamping seperti qiyas, ijma, dan lain-lain.
Menurut Syamsul, sistem pengetahuan yang menjadikan nas (teks) sebagai sumber pokok pengetahuan dalam peradaban Islam disebut sistem pengetahuan bayani. Dalam sistem pengetahuan ini dikembangkan sejumlah cabang ilmu seperti kalam, fikih, usul fikih, Quranologi, ilmu hadis, ilmu bahasa (nahwu, sarfu, balaghah), adab, dan tarikh.
Sistem pengetahuan bayani bersandar kepada prinsip diskontinuitas (mabda’ al-infishal). Hal inilah yang salah satunya menjadikan fikih dalam sejarah Peradaban Islam hanya sekumpulan fatwa-fatwa konkret tanpa adanya konsepsi besar. Ada pula prinsip serba mungkin (mabda’ al-jawaz). Konsekuensi dari prinsip ini ialah peran hukum kausalitas (sababiyyah) menjadi sangat minim bahkan dalam beberapa kasus dapat mengingkari hukum sebab akibat ini. Prinsip bayani selanjutnya ialah otoritas salaf atau segala sesuatu harus kembali ke masa lampau.

“Para penganut sistem bayani ini mengembangkan suatu pandangan dunia yang sama tentang Tuhan, alam, dan manusia yang oleh Thomas Khun disebut paradigma. Paradigmanya ialah mereka berpandangan bahwa Tuhan punya kekuasaan Ilahi mutlak, tentang alam mereka berpikiran mabda’ al-jawaz dan mabda’ al-infishal, dan senantiasa menganggap manusia adalah makhluk yang serba lemah,” terang Syamsul dalam acara Pengajian Ramadan 1444 H yang diadakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Sabtu (25/03).
Dalam mengatasi dominasi pemahaman bayani ini, Syamsul memaparkan tajdid (pembaharuan) menurut Muhammad Abduh. Dalam konsepsi Abduh ini, tajdid meliputi tiga hal: teologi rasionalis untuk menentang pemahaman predestinasi, menghidupkan ijtihad, dan meretas taklid yaitu dengan cara membebaskan pemahaman dari kerangka pikir mazhab.
Dari Abduh kemudian Muhammadiyah mengembangkannya lebih jauh. Bagi Muhammadiyah, kata Syamsul, tajdid harus dilakukan oleh sekelompok jamaah atau organisasi, tidak bisa secara individu. Muhammadiyah juga mengembangkan ilmu melalui pemajuan sistem pendidikan. Tidak cukup sampai di situ, Muhammadiyah juga melengkapi sistem pendekatannya dengan burhani dan irfani.
Hasil dari upaya Muhammadiyah di atas menghasilkan Tafsir at Tanwir. Dalam QS. Al Baqarah ayat 29, Muhammadiyah berpandangan dunia ini diciptakan dan dianugerahkan oleh Tuhan untuk manusia guna dikelola dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Dunia bukan suatu yang terkutuk dan terbuang dari rahmat Tuhan. Ia adalah suatu yang baik karena merupakan anugerah Ilahi. Pandangan dunia ini menurut Syamsul disebut sebagai sikap afirmatif terhadap kehidupan dunia.
“Oleh karena itu etika Islam tidak mengajarkan pelarian dari dunia atas anggapan bahwa dunia adalah kotor. Sebaliknya etika Islam adalah “etika terlibat”, etika amal salih, dengan satu tugas kosmik yang pokok memakmurkan alam di bawah petunjuk ilahi,” terang Guru Besar Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.
Hits: 465