Oleh: Ilham Ibrahim
Penularan virus corona membawa dampak yang luar biasa. Perlahan tapi pasti virus tersebut telah menyebar ke hampir semua negara hanya dalam durasi tiga atau empat bulan saja dan berubah menjadi suatu pandemi. Para ahli ekonomi bahkan menyebut wabah ini menjadi hambatan terbesar pada pertumbuhan ekonomi global sejak krisis keuangan dunia tahun 2008.
Tanpa adanya vaksin, Covid-19 bukanlah virus mudah diatasi. Strategi perlawanan terhadap virus yang bisa diambil tentu saja adalah memutus rantai penyebarannya. Dalam situasi saat ini, virus tidak lagi peduli dengan garis-garis peta atau warna bendera kita. Mikroba parasit ini hanya peduli bagaimana seleksi alam memilih gen-gen mereka untuk terus hidup dan menggandakan diri.
Sentralnya posisi vaksin dalam menyudahi neraka pandemi ini membuat para peneliti di perusahaan farmasi dan universitas berlomba mengembangkan cara untuk mencegah penyebaran COVID-19 yang berkelanjutan. Proyeksi paling optimis menunjukkan vaksin bisa tersedia pada Januari 2021. Prediksi lain yang lebih hati-hati menunggu setidaknya 18 bulan. Namun dalam lanskap perjalanan panjang sejarah vaksin, bahkan ukuran 18 bulan ‘menanti vaksin’ adalah sesuatu yang mendekati kecepatan cahaya. Jauh sebelum Covid-19, manusia setidaknya harus menunggu berabad-abad lamanya untuk menemukan cara pengobatan efektif ketika wabah melanda.
Sejarah Singkat Vaksinasi
Pada Abad Pertengahan, ketika manusia menghadapi wabah seperti Maut Hitam (dikenal dengan nama lain “Wabah Hitam” atau Black Death), mereka tidak tahu seekor kutu mungil bernama Yersinia Pestis menjadi predator mematikan, menewaskan jutaan orang di Afrika Utara, Eropa Selatan, dan Asia Tengah. Setelah Maut Hitam yang mengamuk pada abad ke-14 Masehi, epidemi yang lebih buruk lagi melanda Amerika, Australia, dan Kepulauan Pasifik setelah kedatangan pertama bangsa Eropa pada abad ke-16 Masehi. Tanpa ada yang menyadari, di antara triliunan sel dalam tubuh para penjelajah Eropa itu terdapat ranjau-ranjau mikrospkopis yang meledakkan 90% populasi lokal.
Belum sempat membuat pengobatan efektif, umat manusia dikejutkan kembali pada abad-18 Masehi. Hampir setengah juta orang di Eropa dan begitu pula di beberapa negara di seluruh dunia setiap tahunnya meninggal karena cacar air (smallpox). Semakin meluasnya perdagangan global dan imperialisme kala itu, menyebabkan cacar air melanda masyarakat di seluruh dunia. Meski demikian, penyakit ini pula yang menciptakan sebuah penemuan yang secara tidak sengaja mengarah pada penciptaan vaksin pertama, sekaligus mengubah sejarah medis di masa depan.
Sebelum vaksinasi, metode pengobatan terhadap cacar air bervariasi. Mulai dari yang mistik hingga yang ajaib. Misalnya, menempatkan penderita di ruangan bersuhu panas, atau sesekali ruangan bersuhu dingin, merekomendasikan berdiam diri di dataran tinggi yang terpapar angin, meletakkan kalung salib di leher, dan lain-lain. Penyakit cacar air ini sebenarnya sudah mulai dikendalikan secara tradisional dengan inokulasi, yaitu: memindahkan nanah dari seseorang yang menderita cacar dan menggoreskannya ke kulit orang yang sehat dengan tujuan meningkatkan kekebalan.
Meski dengan inokulasi tingkat kematian akibat cacar dapat dikurangi, akan tetapi metode ini masih memiliki kekurangan. Beberapa orang tertular cacar dan semua yang diinokulasi menjadi pembawa penyakit, secara tidak sengaja menularkannya kepada orang yang mereka temui. Sekitar 2-3% orang meninggal setelah inokulasi. Kebanyakan anak-anak tidak sampai tumbuh dewasa dan orang dewasa juga hidup dalam ketakuta terus-menerus. Keadaan ini memerlukan solusi yang lebih baik.
Pada 1700-an, orang-orang di pedesaan Inggris memahami bahwa sekelompok orang tampaknya kebal terhadap cacar air. Mereka adalah para pemerah susu sapi. Akan tetapi, para pemerah itu terjangkit cacar sapi (cowpox), penyakit yang jauh lebih jinak, tapi ajaibnya tidak terjangkit cacar air (smallpox). Hal ini menginsipirasi Edward Jenner pada tahun 1796 untuk memanfaatkan spesimen penyakit cacar pada sapi untuk mencegah penyakit cacar air. Proses pemindahan sampel dari cacar sapi untuk membuat imunitas cacar air pada manusia ini disebut-sebut sebagai peristiwa vaksinasi pertama dalam sejarah. Karena itulah, secara bahasa, vaksin berasal dari bahasa Latin yaitu, vaccinia yang berarti cacar sapi.
Hampir seabad setelah Jenner mengembangkan tekniknya, pada tahun 1885, ahli biologi Prancis, Louis Pasteur, menyelamatkan nyawa seorang bocah lelaki berusia sembilan tahun setelah dia digigit anjing rabies. Pasteur menyuntik bocah malang itu dengan bentuk virus rabies yang telah dilemahkan setiap hari selama 13 hari. Pada akhirnya anak laki-laki itu tidak pernah mengidap rabies dan pengobatannya digembar-gemborkan berhasil. Pasteur menciptakan terapinya dengan nama “vaksin rabies”. Penamaan ini memperluas arti vaksin melampaui asalnya.
Pada pertengahan abad ke-20, menurut Jeffrey Kluger, pembuatan dan pengembangan vaksin semakin canggih. Dunia kodekteran dapat memukul mundur berbagai virus dengan merekayasa bakteri yang mampu memproduksi pengobatan, membuat biofuel, dan membunuh parasit-parasit. Para ilmuwan menggunakan sedikit selubung virus dan bakteri untuk memicu respons imun. Protein yang diekstrak dari patogen dapat bekerja dengan cara yang sama, masing-masing membawa sidik jari kimiawi yang dengan sendirinya dapat mengajarkan sistem kekebalan untuk mengenali dan membunuh virus tempat asalnya. Kemudian kini terciptalah bom-bom vaksin baru seperti polio, campak, mumps, dan rubella.
Pada abad ke-21 saat Covid-19 menyerang umat manusia, para ilmuwan, dokter, dan perawat di seluruh dunia langsung mengumpulkan informasi dan bersama-sama berhasil memahami bagaimana dunia mikroorganisme ini bekerja, sehingga mereka tahu mekanisme di balik wabah dan cara melawannya. Pada abad ke-14 ketika kuman-kuman lincah memusnahkan jutaan manusia, orang Abad Pertengahan tidak pernah menemukan apa yang menyebabkan Maut Hitam.
Namun baru-baru ini, ketika genom menjadi mudah didekodekan, para peneliti semakin mahir mengembangkan vaksin yang mengandalkan ekstraksi RNA atau DNA dari patogen dan menyuntikkannya ke dalam tubuh. Di sana, potongan materi genetik menyebabkan sel menghasilkan protein yang tidak dapat menyebabkan penyakit tetapi dapat membuat peka dan mendidik sistem kekebalan tubuh. Kurang dari 18 bulan sejak pertama kali muncul di Kota Wuhan, vaksin Covid-19 akhirnya berhasil diciptakan.
Peristiwa-peristiwa di atas telah menunjukkan bahwa vaksinasi telah berhasil memberantas wabah, memangkas angka kematian anak, dan mencegah cacat seumur hidup. Vaksin bisa dibilang sebagai inovasi paling menyelamatkan jiwa dalam sejarah pengobatan. Tidak heran bila sejarawan asal Israel Yuval Noah Harari mengatakan, “penemuan terbaik umat manusia adalah vaksin.”
Editor: Fauzan AS
Hits: 199