MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Muhammadiyah telah menyusun Fikih Difabel dengan tiga nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah): tauhid, keadilan, dan kemaslahatan. Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Ali Yusuf menerangkan bahwa setelah menyusun kategori nilai-nilai dasar tahapan selanjutnya dalam paradigma fikih Muhammadiyah ialah menentukan prinsip-prinsip umum (al-ushul al-kulliyyah).
Menurut Ali, prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam Fikih Difabel adalah kemulian manusia, inklusivisme, dan penghormatan kemajuan berbasis ilmu. Kemuliaan manusia berarti kesadaran bahwa segala unsur yang melekat pada manusia bersifat lahir maupun batin tidak boleh dilukai dan dihilangkan. Inklusivisme berarti terbuka tanpa memandang golongan, aliran, bentuk fisik. penghormatan kemajuan berbasis ilmu berarti IPTEK seyogyanya dikembangkan untuk memperhatikan kemaslahatan dan kebutuhan kaum difabel.
“Ketika ada difabel yang tidak bisa berkontribusi bukan berarti tidak mampu, tetapi karena ada lingkungan-lingkungan yang tidak bisa mendukung untuk bagaimana para difabel agar berkontribusi,” terang dosen Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah ini dalam Pengajian Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Jumat (10/12).
Selain nilai dasar dan prinsip umum, Fikih Difabel juga memuat pedoman praktis (al-ahkam al-far’iyyah). Pada bagian ini terdapat kaidah-kaidah praktis dalam pelaksanaan ibadah bagi kalangan difabel. Kaidah praktis ini disusun dengan pertimbagan bahwa syariat itu dibangun di atas kemudahan dan menghapuskan kesulitan-kesulitan, serta disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan mukallaf.
Kaidah pertama ialah ‘Menghilangkan kemudaratan dan kesulitan’ (QS. Al Baqarah: 185 dan QS. Al Hajj: 78). Beragama itu mudah, Allah menghendaki kemudahan dan tidak menginginkan kesulitan bagi hamba-Nya. Memaksakan kesulitan dan mengabaikan adanya kemudahan itu dapat merusak prinsip ajaran Islam bahkan bisa mengakibatkan orang meninggalkan agama itu sendiri.
Kaidah kedua ‘Tidak ada pembebanan dalam agama’ (QS. Al Baqarah: 286 dan QS. Al Fath: 17). Allah telah menentukan segala sesuatu sesuai ukurannya, demikian pula manusia sebagai makhluk taklifi tidak akan dibebani dengan suatu hukum melainkan sesuai dengan kadar kemampuannya. Allah tidak akan memaksakan seseorang untuk menjalankan perintah Allah melainkan disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.
Kaidah ketiga ‘Ajaran yang menggembirakan bukan menakutkan’. Salah satu prinsip ajaran Islam adalah menggembirakan bukan menakutkan sehingga berakibat orang lari dari Islam. Jika agama telah membolehkan sesuatu maka tidak perlu mempersulit dan memberatkan dalam mengamalkannya. Sebagaimana disebut dalam hadis: Dari Anas (diriwayatkan) dari Nabi saw bersabda: “mudahkanlah olehmu dan jangan mempersulit, gembirakanlah dan janganlah membuat orang lari (pergi)” (H.R. al-Bukhari).
“Sebagai mukallaf, difabel tetap punya kewajiban dalam beribadah. Maka kaidah umumnya Islam adalah ajaran yang memberikan kemudahan dan menghilangkan kesulitan. Kaidah-kaidah ini bisa menjadi panduan kepada sahabat-sahabat difabel, jangan merepotkan diri untuk beribadah selama kita masih belum bisa secara sempurna,” kata Ali.