MUHAMMADIYAH.OR.ID, BANDUNG—Mengutip QS. An Nahl ayat 97, Ketua Umum Nasyiatul Aisyiyah Dyah Puspitarini menegaskan bahwa amal saleh itu dapat dikerjakan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Ayat ini menggambarkan bahwa laki-laki dan perempuan asasinya sama yaitu sebagai hamba Allah sekaligus khalifah di bumi.
Hal ini sejalan dengan pidato tokoh ‘Aisyiyah generasi awal Siti Munjiyah dalam Kongres Perempuan tahun 1928. Menurut Siti Munjiyah, kutip Dyah, perempuan dan lelaki Islam itu masing-masing berhak berkemajuan dan berkesempurnaan, dan bahwasannya yang dikata kemajuan dan kesempurnaan itu ialah menurut hak batas-batasnya sendiri.
Kepiawaiannya dalam ceramah, pada tahun 1921 di acara Sarekat Islam cabang Kediri, ia dipercaya menyampaikan materi tentang kedudukan perempuan dan perannya dalam memajukan agama Islam. Laku hidup dan pemikiran Siti Munjiyah harus menjadi teladan perempuan di Indonesia.
“Siti Munjiyah menjadi satu-satunya utusan perempuan dari Muhammadiyah yang naik mimbar dan berpidato. Ia memang piawai dalam berorasi. Di acara di Sarekat Islam cabang Kediri, ia menyampaikan materi tentang kedudukan perempuan dalam Islam,” ucap Dyah dalam Gerakan Subuh Mengaji pada Ahad (18/09).
Dyah kemudian memaparkan data kondisi perempuan di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, tingkat pendidikan perempuan berada di angka 47%, partisipasi angkatan kerja perempuan hanya 51,88%, jaminan akses kesehatan perempuan sebesar 64,47%. Kondisi ini yang menyebabkan begitu banyak perempuan yang mendapat PHK, dan lain sebagainya.
Di tingkat global, tantangan perempuan begitu kompleks seperti kekerasan, women traficking, jaminan keamanan pekerja perempuan, dan perkawinan anak.
Padahal, dalam perspektif agama, menurut Dyah perempuan memiliki kewajiban mendapatkan akses pendidikan serta memiliki kesempatan yang sama dalam memimpin institusi pendidikan. Hal ini berdasarkan hadis tentang belajar memanah dan berkuda. Selain itu, dalam lingkup sosial, agama juga memberikan kesempatan yang sama menjadi pemimpin di masyarakat. Hal ini didasarkan dari kisah Ratu Bilqis yang memimpin sebuah kerajaan besar.
Dalam ekonomi, perempuan juga memiliki hak untuk mendapatkan pekerjaan, serta menjadi seorang pedagang sebagaimana Siti Khadijah. Dalam politik dan hukum, perempuan dan laki-laki divonis setara, baik dalam kebebasan mengemukakan pendapat, pengambil keputusan, maupuin menjadi pemimpin bangsa.
Hal ini berdasarkan kisah Nusaiba binti Ka’ab al-Anshariyyah yang terlibat dalam perang Uhud. “Namun sayangnya di negeri ini kepemimpinan perempuan masih saja mendapat sorotan. Meskipun sudah pernah seorang perempuan jadi Presiden, namun sekitar 25% penduduk Indonesia tidak mendukung kepemimpinan perempuan,” ucap Dyah.
Hits: 48