MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Setelah mendalami ilmu kalam, Abu Hamid al Ghazali kemudian menyelami lautan filsafat. Tersurat dalam kitab Al Munqidz min al-Dhalal, Hujjatul Islam mengatakan bahwa jika ingin membantah suatu ilmu, maka seseorang harus pintar dalam ilmu itu, atau bahkan melebihinya. Artinya, membantah para filosof sebelum memahami cara mereka berpikir sama dengan menembak dalam kegelapan.
Al Ghazali mengklaim dirinya sebagai orang muslim pertama yang memandang filsafat Yunani secara kritis. Ia menulis bantahan terhadap para filosof di sela-sela mengajar sebagai professor hukum di Universitas Nizamiyyah Baghdad dengan mahasiswa sebanyak tiga ratus orang. Memerlukan waktu kurang dari dua tahun untuk belajar filsafat secara utuh, dan satu tahun tambahan untuk merefleksikannya.
“Membantah dan mengkritik orang, jangan hanya dari pernyataan yang dipotong, dari pikiran-pikiran yang tidak utuh. Al Ghazali bilang harus masuk dulu ke dalamnya, bahkan kita melebihi orang paling pintar dalam ilmu tersebut,” terang Muhamad Rofiq Muzakkir dalam kajian tentang Al Ghazali pada Sabtu (24/09) yang diselenggarakan PCIM Amerika Serikat berkerjasama dengan Center for Integrative Science and Islamic Civilization (CISIC) Universitas Muhammadiyah (UMY).
Dalam kitab al-Munqidz, Al Ghazali mengemukakan tipologi filosof, di antaranya: Pertama, materialis/ateis (al-duhriyyun), yaitu kelompok filosof klasik yang menolak eksistensi Tuhan. Bagi kelompok ini, alam semesta terbentuk dengan sendirinya, tanpa ada campur tangan Yang Maha Kuasa. Kedua, naturalis (al-thabi’iyyun), yaitu para filosof yang mengobservasi alam semesta. Mereka mengakui Tuhan, tetapi menolak kehidupan setelah mati. Ketiga, teis (al-ilahiyyun), yaitu golongan yang percaya pada Tuhan tapi alam pikirnya masih mengandung kesesatan seperti Socrates, Plato, Aristoteles, begitu pula dengan Alkindi, Alfarabi, dan Ibnu Sina.
Selain itu, Al Ghazali juga menguraikan cabang-cabang ilmu filsafat, di antaranya: pertama, matematika (riyadhiyyah). Di antara kaum muslimin terdapat dua sikap negatif terhadap ilmu ini: kelompok pertama menganggap bahwa semua pernyataan para filosof pasti benar, sebagaimana kepastian hitung-hitungan matematika; dan kelompok kedua menganggap bahwa semua pernyataan filosof salah, sehingga menolak proses hitung-hitungan matematis. Menanggapi dua kecenderungan ini, Al Ghazali berkomentar bahwa filosof yang cerdas dalam matematika, belum tentu cerdas dalam urusan metafisika, dan belajar serta mengunakan matematika dalam agama hukumnya mubah.
Kedua, logika (manthiqiyyah). Al Ghazali berada di kutub yang menganggap bahwa logika sebagai metode berpikir merupakan sesuatu yang universal. Umat Islam, misalnya, sah-sah saja menggunakan silogisme, meski cara berpikir ini berkembang di Yunani klasik. Tidak ada unsur logika yang mesti ditolak. Bahkan Al Ghazali menegaskan bahwa orang yang menolak logika, adalah mereka yang tingkat kecerdasannya di bawah rata-rata.
“Sebagian umat Islam yang menolak logika, sebenarnya disebabkan oleh filosof itu sendiri. Dalam hal metafisika, para filosof gagal menerapkan prinsip kepastian ilmu logika yang mereka persyaratkan. Catatan pula: ada pula orang yang suka dengan kepastian dalam ilmu logika. Tapi jadi ikut-ikutan kafir ketika melihat para filosof yang menggunakannya juga banyak orang kafir,” kata Rofiq.
Ketiga, fisika (thabi’iyyah). Pada era al Ghazali, ilmu fisika membahas tentang alam semesta seperti langit, tata surya, dan unsur-unsur di bumi seperti air, api, udara, dan tanah. Tidak ketinggalan juga studi tentang perubahan benda materil. Menurut Rofiq, Al Ghazali menegaskan bahwa Islam juga tidak menolak ilmu fisika, kecuali dalam beberapa hal seperti kepastian hukum sebab akibat. Alasannya, alam semesta hanya tunduk kepada hukum Allah.
Keempat, metafisika (ilahiyyah). Menurut Al Ghazali, kesalahan para filosof banyak terjadi pada bidang ini, terutama karena mereka gagal menerapkan metode silogisme. Pandangan Aristoteles dalam bidang metafisika, seperti digambarkan oleh Alfarabi dan Ibnu Sina, banyak kemiripan dalam Islam. Tetapi ada dua puluh hal yang bermasalah, dan tiga di antaranya layak membuat mereka dikafirkan: menganggap alam ini qadim, Tuhan tidak tahu hal-hal juziyyat, dan tidak meyakini kebangkitan jasmani pasca alam kubur.
Kelima, politik (siyasiyyah). Al Ghazali tidak mempermasalahkan bidang politik ini. Filosof terbiasa mendiskusikan persoalan administrasi pemerintahan. Mereka juga sering mengutip pandangan dari kitab suci sebagai tumpuan dasar.
Keenam, etika (khulqiyyah). Pada bidang ini, Al Ghazali mengatakan bahwa para filosof banyak mencuplik ide-ide sufi yang kemudian dikembangkan sendiri menjadi filsafat etika. Sebagai campuran dari sufisme, filsafat etika telah menyebabkan kemunculan sikap negatif pada dua kelompok sekaligus.
Pertama, kelompok yang menolak filsafat etika, pada akhirnya menolak ajaran-ajaran kaum sufi karena dianggap tidak orisinal sebagai ajaran tasawuf. Menurut Al Ghazali, akal kelompok ini lemah, sebab menilai bukan dari substansi, tapi dari siapa yang mengucapkan. Ini sama seperti orang yang menolak ucapan orang Kristen yang mengatakan: “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Isa adalah utusan Allah.” Pernyataan ini benar, tapi ditolak karena berasal dari orang Kristen. Padahal, kata Al Ghazali, sepanjang tidak bertentangan dengan Al Quran dan Al Sunah, dan logika silogisme, tidak perlu ditolak.
Kedua, kelompok yang menerima keseluruhan filsafat etika Yunani, tanpa menyaringnya lagi. Contohnya orang yang menerima keseluruhan pemikiran Ikhwan al-Safa yang banyak mengutip al-Quran, hadis, dan perkataan kaum sufi. Padahal banyak kekeliruannya.
“Demikian, bapak dan ibu sekalian, narasi Al Ghazali tentang filsafat dari kitab Al Munqidz min al-Dhalal,” ucap Ketua PCIM Amerika Serikat dan alumni Arizona State University ini.
Sikap kedua dari al Ghazali terhadap filsafat yaitu mengkritik keras para filsuf, terutama gembong Aristotelianisme Neo-Platonik, karena terkadang mengabaikan aspek wahyu. Kritik paling kerasnya hingga menganggap para filsuf telah kafir karena tiga hal: menganggap alam ini qadim, Tuhan tidak tahu hal-hal juziyyat, dan tidak meyakini kebangkitan jasmani pasca alam kubur.
“Al Ghazali menjadi orang pertama yang mengkritik secara akademis filsafat Aristotelianisme Neo-Platonik. Sebelum ada Al Ghazali, para filsuf cenderung taklid terhadap berbagai pandangan para filsuf Yunani. Hampir semua filsuf mengapresiasi, tapi tidak ada yang seberani al Ghazali mengkritik filsafat Aristoteles,” ucap Rofiq.