MUHAMMADIYAH.OR.ID, MEDAN — Para ulama Nusantara sejak dulu telah banyak memberikan sumbangan konseptual dalam bidang astronomi atau ilmu falak. Namun sayangnya menurut Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, penelusuran dan pengkajian yang komprehensif terhadap naskah-naskah astronomi karya ulama Nusantara ini masih terbilang minim, bahkan dapat dikatakan terlantar.
“Di Nusantara dalam sepanjang sejarahnya terbukti memiliki sumbangan dalam bidang astronomi. Hal itu tampak dan terbukti dengan ada dan ditemukannya karya-karya astronomi yang ditulis oleh para ulama Nusantara yang memiliki keahlian astronomi,” tutur anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini sebagaimana yang diterima tim redaksi Muhammadiyah.or.id pada Jumat (07/01).
Menurut Arwin, ada lima alasan mengapa kajian terhadap naskah-naskah astronomi lawas karya ulama Nusantara minim perhatian. Pertama, problem akses naskah. Pencarian dan penelusuran naskah-naskah ini merupakan pekerjaan yang cukup menyita waktu bagi semua peneliti (filolog), bukan hanya filolog astronomi, namun filolog semua bidang keilmuan.
“Namun sejak 2017, akses naskah-naskah Nusantara atau Asia Tenggara mulai dapat diakses secara digital melalui laman Dreamsea.co. Ini sangat membantu para peneliti dan pecinta naskah Nusantara,” terang dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara ini.
Kedua, problem metodologi. Arwin menuturkan etodologi merupakan hal fundamental dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu, tanpa terkecuali dalam disiplin ilmu astronomi. Ketiga, problem penguasaan materi. Karena setiap naskah memiliki karakteristik dan tipologi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, maka penguasaan materi dan substansi naskah mutlak diperlukan.
“Jika pembacaan dan pemahaman seorang filolog keliru akan menyebabkan naskah tidak tepat sasaran, dan dengan demikian seorang filolog dianggap memutar balikkan fakta dan substansi sebuah naskah. Maka, penguasaan amteri astronomi dalam sebuah naskah astronomi adalah keniscayaan,” tutur pakar filologi lulusan Universitas Al Azhar Kairo ini.
Keempat, problem perkembangan ilmu. Menurutnya, ciri utama astronomi-nusantara yaitu astronomi praktis, yang secara spesifik terkait waktu salat, arah kiblat, awal bulan, gerhana, dan aplikasi instrumen astronomi (rubu mujayyab dan astrolabe). Pemahaman yang baik terhadap corak ini sejatinya akan memudahkan kegiatan penelitian naskah-naskah astronomi karya ulama Nusantara.
Kelima, problem istilah keilmuan. Istilah-istilah astronomi yang digunakan para astronom Muslim Nusantara dalam karya-karya mereka cukup banyak dan beragam. Terlebih lagi istilah-istilah itu sedikit berbeda dengan istilah-istilah astronomi modern yang telah terbaur dengan sentuhan Barat. Misalnya, khassah, ta’dil, markaz, zaij, buht, ufuq, mathla’, dan lain-lain. Salah satu tugas penting seorang filolog naskah astronomi adalah menghubungkan istilah-istilah itu dengan istilah-istilah astronomi modern.
“Ini penting untuk menghindarkan kekeliruan dan paradoks antara astronomi silam dengan astronomi modern. Tanpa upaya ini, maka pekerjaan penelitian (tahkik) seorang peneliti (filolog) belum dikatakan baik dan berhasil. Terlebih lagi jika seorang filolog tidak mendalami sejarah keilmuan astronomi Islam secara umum,” kata Kepala Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (OIF UMSU) ini.
Bila mengalami hambatan dalam penguasaan istilah-istilah yang digunakan dalam naskah astronomi lawas, Arwin menyarankan agar berkonsultasi kepada para filolog astronomi dan merujuk sumber-sumber bibliografi dan ensiklopedia.