MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Dimulai pada abad ke-3 Hijriyah, peradaban Islam pernah berjaya selama delapan ratus tahun lamanya. Pemantik lahirnya peradaban emas umat Islam, salah satunya adalah keterbukaan dan interaksi dengan karya-karya filsafat dari Yunani dan Persia
Pada masa itu Islam tampil unggul dalam penguasaan sains, ilmu pengetahuan, filsafat, dan teknologi di saat kondisi Barat sedang berada dalam masa kegelapan. Kejayaan ini kata Saad Ibrahim lahir karena pemahaman kaum muslimin terhadap perintah Iqra’ dalam Quran Surat Al-Alaq ayat 1.
Dalam Pengajian Bulanan PP Muhammadiyah bertajuk “Reaktualisasi Isramikraj dalam Membangun peradaban utama”, Jumat petang (18/2), Ketua PP Muhammadiyah itu menegaskan jika usaha membangun peradaban umat dipandu oleh akidah tauhid, Alquran dan Sunnah.
Oleh karena itu, karya-karya Yunani justru semakin kaya ketika dibedah oleh ulama-ulama kaum muslimin. Dimensi ruhani yang kering, diperkaya oleh tuntunan wahyu dan akidah tauhid sehingga membawa sifat peradaban yang rahmat bagi seluruh alam.
Urutan struktur pemahaman wujud (ontologi) Yunani yang terdiri dari alam semesta, dewa, manusia, dan materi digantikan oleh urutan struktur ontologis Islam yang terdiri dari Tuhan (wahyu), manusia, amal saleh, dan alam semesta.
“Apa yang ditawarkan dunia Yunani itu kita ambil, selektif dihubungkan dengan perintah Allah tadi iqra’ bismi-rabbikalladzi khalaqa, bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Maha Pencipta,” jelas Saad.
Pada kejayaan Islam ini wahyu menempati urutan pertama dari struktur ontologis, setelah itu baru akal, empirisisme, dan intuisi. Meskipun ada perbedaan urutan antara Ibn Taimiyah dan Imam Al-Ghazali antara unsur itu, tapi semua sepakat bahwa wahyu menempati posisi teratas.
Akan tetapi, peradaban Islam itu kata dia mulai bergeser pasca perang Salib. Eropa yang berhasil mengusir dominasi otoritarianisme kelompok agama (gereja) di masa pencerahan, mulai melancarkan sekularisasi.
Eropa mulai menggali karya-karya sains dan filsafat Yunani dan Islam, yang ternyata perkembangan keilmuan itu justru bertentangan dengan otoritas agama setempat. Pada akhirnya, Barat mulai memakai paradigma struktur ontologis utama pada rasio dan pembuktian empirik lewat pemantik dari Immanuel Kant dan Rene Descartes. Adapun unsur wahyu dan intuisi mulai dibuang.
Dari konteks sekularisasi inilah kata Saad muncul istilah populer dari Nietschze, “Tuhan telah mati” dan ungkapan Karl Marx, “agama adalah candu”.
“Maka ketika Tuhan tidak ada, lahirlah filsafat eksistensialisme,” jelasnya.
Uniknya, posisi manusia yang berada di posisi kedua pada peradaban Islam dan posisi ketiga pada peradaban Yunani justru naik pada posisi pertama akibat sekularisme. Sejak revolusi Industri 1.0 sampai 4.0 sekarang, kata Saad sekularisme bahkan telah meracuni pandangan alam (worldview) umat manusia.
“Manusia ada di first structure. Tapi semenjak revolusi industri 1.0, (eksistensi) manusia semakin hari semakin hilang. Yang terwujud adalah karya manusia, teknologi handphone, kita hilang,” kata dia.
Tantangan sekularisme yang semakin membuat manusia jauh dari Tuhan inilah yang menurut Saad digarap serius oleh Persyarikatan Muhammadiyah lewat berbagai kegiatan dakwahnya di bidang riil seperti pendidikan, kesehatan, dan sosial-kemasyarakatan.
Termasuk usaha mengembalikan kejayaan Islam yang pernah berjaya selama delapan abad di atas melalui pemaknaan Islam sebagai agama peradaban sesuai Quran Surat Al-Alaq ayat 1.
“Nah ini sekali lagi peradaban (sekuler) yang akan menghancurkan peradaban umat manusia. Walaupun berbasis pada sains dan teknologi, maka kita bertugas menjaga, mewujudkan peradaban itu dengan mengembalikan posisi Allah di posisi (struktur ontologis) yang tertinggi itu,” terang Saad.
“Golden age yang 800 tahun itu sudah tidak ada, maka kita perlu membangun the second golden age of Islamic history dan Muhammadiyah tentu saja dengan pendidikan-pendidikannya itu bagian dari membangun the second age of golden Islamic history,” tegas Saad. (afn)
Hits: 1746