MUHAMMADIYAH,OR.ID, YOGYAKARTA – Haedar Nashir menyampaikan kita memerlukan moderasi bukan hanya dalam agama tetapi juga dalam berbangsa bahkan dalam ranah kemanusiaan semesta. Menurutnya moderasi adalah pandangan dan proses untuk kita atau apapun untuk berada dalam titik tengah. Di mana kehadiran titik tengah itu menjadi sangat penting dan menentukan dan jelas posisinya ketika kita perbandingkan dengan posisi lain yang orang sebut sebagai ekstrim atau ghuluw yang kadang juga atau sering bahkan kata ekstrim atau ghuluw itu bahkan digeneralisasi menjadi radikal.
“Kata moderat bahasa indonesianya tengahan. Bahasa arabnya tawasuth atau wasthiyah. Intinya sama berada dalam titik median. Kalau yang belajar statistik tau artinya median tetapi posisi tengah dalam moderasi itu tidak seperti posisi median yang absolut di tengah. Dia bisa bergerak ke kanan dan ke kiri tetapi tetap dalam bingkat wasathiyah dalam bingkai tengahan dan oposisi ekstrim, dari oposisi ghuluw, dari oposisi biner yang bertentangan dengan itu,” terang Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini dalam Kuliah Umum di Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda, Senin (29/8).
Moderasi berbangsa sebagai sebuah lantun dengung dalam kehidupan kebangsaan Indonesia itu, kata Haedar, merupakan kesejatian dari karakter Indonesia bangsa Indonesia dan dasar Negara Republik Indonesia pancasila yang wataknya tengahan, yang wataknya wasathiyah, yang wasathan moderat.
“Bangsa Indonesia itu hadir sebagai sebuah proses sejarah yang tak hanya baik dalam kehidupan beragama maupun berbangsa di tanah air itu melarung sampai proses menjadi Indonesia yang berakhir dari akumulasi pertemuannya titik tertentu seluruh elemen, dari agama misalkan atau awal-awal ada kepercayaan setempat, datang Hindu dan Budha lalu Indonesia menjadi mayoritas Hindu. Setelah datang Islam, luar biasa dari Hindu berubah menjadi mayoritas Islam tanpa perang, tapi dengan cara damai,” kisahnya.
“Sejak Islam masuk beberapa masehi, sampai kawasan yang paling timur di Papua lewat pernah, di Medan juga, dan semua proses Islamisasi berjalan secara wasathiyah, secara tawasuth, secara tengahan, tanpa konflik yang serius dan dilakukan oleh semua tokoh, kelompok, golongan, dan figur. Jawa ada para wali Arab Saudi ada, di luar Jawa ada para tokoh agama, ada Teuku di Aceh, dst, yang semuanya berkiprah memberi andil pada Islamisasi yang tengahan, tawasuth, dan moderat,” sambungnya.
Maka, Haedar menegaskan bahwa tidak mungkin Islam diambil imam dari agama mayoritas jika dia datang dengan ekstrim, dengan radikal. “Saya lebih banyak menggunakan ketika kata radikal itu dengan maksud ekstrim, radikal ekstrim, karena radikal itu ada 2 makna, satu bermakna radix kembali ke akar yang semua hal beragama berbangsa biasanya kembali kepada radix. Kalau kepada pancasila kita kembali kepada radix pancasila, kalau kita kembali kepada rukun iman dalam beragama secara teknik itu kita kembali kepada rukun iman atau akidah,” jelasnya.
Baik di dalam politik dan kemudian di dalam hal juga beragama, dan keagamaan bukan hanya Islam. Dikisahkan Haedar bahwa di Eropa Barat saja terjadi peperangan antara Kristen dan Katolik yang cukup panjang, yang kemudian juga memicu lahirnya perang dunia kedua yang dimulai dari Jerman. Menurutnya itu sesungguhnya juga gerakan-gerakan keagamaan yang radikal antar 2 golongan agama yang sah.
“Satu kotak kecil yang bersejarah di Jerman disana ada bangunan yang sangat klasik, di situ ada lambang dari pengakhiran perang antara Kristen dan Katolik, simbol perdamaian. Kesimpulan yang saya sampaikan bahwa radikal kemudian menjadi menjadi gerakan politik dan keagamaan yang ekstrim itu hadir di Eropa baik dalam konteks berbangsa bernegara maupun dalam konteks agama,” tuturnya.