MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Rita Pranawati, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAI) menyebut bila anak-anak sering dianggap kelompok yang lemah sehingga kemudian yang paling mudah menjadi korban kekerasan. Padahal sebenarnya kalau di perlindungan anak, di Muhammadiyah itu ada prinsip Al Karamah Al Insaniyah, pemuliaan manusia bahwa sekalipun itu anak mempunyai harkat martabat yang harus dijaga.
“Relasi kuasa seringkali menjadi penyebab misalnya antara senior dengan junior, kemudian juga misalnya kalau di asrama ada pendamping, ini juga menjadi bagian yang kemudian terjadi kekerasan termasuk dari pengasuh kepada peserta didik,” kata Rita, saat menjadi pembicara dalam Pengajian Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Jumat (16/9) malam.
Maka, menurutnya, manajemen penyelenggaran pendidikan ini menjadi pekerjaan rumah sebenarnya termasuk sarana prasarana yang belum memadai, kemudian belum adanya SOP yang optimal. “Seringkali kekerasan-kekerasan ini terjadi pada jam-jam transisi dan kosong dari pengawasan. Jadi misalnya jam istirahat di sekolah formal, kemudian sekolah berasrama itu setelah beristirahat, saat pagi, saat tidak adanya pengawasan. Jam-jam ini yang kemudian dimanfaatkan untuk melakukan kekerasan,” jelasnya.
“Juga isu pendisiplinan, sebenarnya pendisiplinan ini bukan tujuannya mendidik manusia yang berakhlak, humble, tapi bagaimana kemudian pendisiplinan ini ditujukan untuk upaya membangun kesadaran bukan untuk balas dendam, dst. Sekaligus bahwa untuk sekolah berasrama pendamping juga seringkali masih usia anak karena senior dan belum cukup matang,” sambung Rita.
Sementara itu, untuk pesantren atau sekolah berasrama, Rita menyampaikan bahwa harus disadari pesantren ini tidak hanya pendidikan, tetapi waktu 24 jam. Tingkat kejenuhan dan situasinya tentu akan berbeda. Antara rasio siswa dan guru kan juga beragam.
“Saya kira jika kita menyerahkan anak “ke pesantren” sudah seharusnya orang tua menyampaikan kondisi anak pada sekolah berasrama agar bisa mengantisipasi anak bagaimana kesehatannya, psikologisnya. Ini juga berlaku untuk sekolah umum, karena kondisi anak ini menjadi bagian yang penting. Kemudian komunikasi dengan orang tua ini juga menjadi bagian karena sejatinya di asrama ini kan rasionya terbatas, kemudian orang tua menjadi tetap menjadi pengasuh utama yang sebenarnya sehingga komunikasi masih terus berjalan dengan didampingi agar mereka memiliki cara pandang dalam menyelesaikan masalah,” terangnya.
“Kemudian pendamping dan pengawasan. Ketika pendampingnya adalah mahasiswa dengan usia yang masih anak-anak, tentu ini menjadi tidak mudah. Karena mereka belum tentu mereka bisa menyelesaikan masalah, atau bahkan bagian dari masalah. Maka pendamping guru dan pengawasan yang memiliki kepercayaan peserta didik ini menjadi penting karena sekali lagi mereka adalah pengganti dari anak-anak selama ada di satuan pendidikan,” lanjut Rita.
Kemudian kalau kita bicara di dalam institusi pendidikan, kata Rita, tentu penting adanya mekanisme pelaporan. Sekaligus juga pendisiplinan untuk kesadaran bukan untuk efek jera apalagi balas dendam.
Pada kasus kekerasan yang terjadi terakhir misalnya, KPAI mendapati bahwa saya anak korban yang anak pelaku juga mengatakan “saya ini biasa juga dipukul, jadi biasa aja memukul” itu adalah seharusnya pendidikan masuk ke arah pendisiplinan kesadaran.
“Saya ingin masuk ke solusi, kalau kita bicara tentang anak, sudah semestinya bicara tentang kebijakan keselamatan anak. Upaya pencegahan itu hal yang harus maksimal dibandingkan dengan penanganan. Kalau kita bicara tentang penanganan itu lebih panjang, maka yang harus kita upayakan maksimal adalah pencegahan,” jelasnya lagi.
Pencegahan pertama adalah terkait pengelola. Dijelaskan Rita, kita harus punya pengelola yang rekam jejaknya baik, tidak pernah melakukan kejahatan seksual, secara emosi stabil, ini menjadi bagian yang penting . “Saya kira perspektif terhadap perlindungan anak tadi disebut child friendly. Bagaimana kemudian pengelola itu memiliki sertifikat child friendly, minimal memahami konvensi hak anak, setiap anak unik, dan pemenuhan hak menjadi hal yang penting. Sekaligus juga upaya edukasi secara terus menerus kepada pendidik, kepada tenaga kependidikan, termasuk peserta didik. Harus terus dikuatkan, respek itu adalah pelajaran dasar terkait dengan mencegah kekerasan. Saya kira penting sekali untuk membuat SOP, badan program agar misalnya seperti di jam-jam rentan itu agar ada pendampingan, kemudian juga misalnya pendisiplinan seperti apa. Contoh jangan sampai kemudian kekerasan menjadi alternatif pendidikan untuk mendisiplinkan,” paparnya.
“Sebenarnya tujuan pendidikan untuk membangun kesadaran, bukan kesadaran takut karena dihukum, kemudian tidak melakukan. Termasuk diantaranya SOP itu adalah tidak boleh antara guru dan siswa hanya berdua. Ruang-ruang kelas dst adalah ruang yang transparan, bisa dilihat dari luar tanpa mengganggu privasi tapi tidak menjadi tempat untuk melakukan kekerasan. Ini tentu menjadi upaya pencegahan yang maksimal. Kebijakan kesehatan anak ini juga disarankan adanya penanganan, diantaranya adanya lembaga SDM khusus untuk pelaporan jika ada kasus,” lanjut Rita.
Dalam hal ini perspektif korban menjadi hal yang penting, karena bagaimanapun tidak ada yang menjadi korban baik kekerasan fisik, psikis, seksual, dst. “Kita tahu itu dampaknya panjang, tidak sesederhana yang dibayangkan. Saya kira semua institusi pendidikan harus punya ukuran apakah sebuah pelanggaran sebuah tindakan itu ini pelanggaran biasa atau sudah pidana. Ketika pidana maka sudah seharusnya disampaikan kepada aparat penegak hukum. Dan saya kira jejaring dengan penegak hukum, lembaga layanan, rumah sakit, itu menjadi bagian yang penting,” tegasnya.
Sekali lagi, Rita menegaskan, bukan soal menjaga nama baik institusi tapi perlindungan anak itu adalah keberpihakan kepada ketika ada korban maka keberpihakannya adalah institusi itu tegas bahwa ini adalah pidana, tidak ada seorangpun yang mau menjadi korban, maka kemudian kita harus menolong.
Hits: 19