MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Hilman Latief menyampaikan informasi bahwa pada tahun 1936, Haji Agus Salim pernah menulis sebuah artikel di Pedoman Masjarakat bertajuk “Yahudi dan Arab di Palestina, Pertarungan Kebangsaan”. Tulisan Haji Agus Salim tersebut menandakan bahwa Indonesia sebelum kemerdekaannya telah memberikan respon terhadap konflik Palestina-Israel.
“Jadi jauh sebelum 1948 (kemerdekaan Israel) dan jauh sebelum kita merdeka tahun 1945, Haji Agus Salim sudah menulis tentang itu. Ini menarik, saya kira ini informasi penting,” ungkap Hilman Laiteif dalam Pengajian Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah: Solusi Komprehensif Masalah Israel-Palestina pada Jumat (12/06).
Dua tahun kemudian, kata Hilman, Haji Agus Salim menulis kembali artikel yang sekaligus mengoreksi tulisannya di Pedoman Masjarakat. Di tulisannya yang terakhir itu, Haji Agus Salim menegaskan bahwa konflik Palestina-israel merupakan persoalan agama dengan menyinggung status kepemilikan masjid al-Aqsha.
“Ini informasi pra-kemerdekaan dan ini menjadi informasi buat kita bahwa sebetulnya koneksi kita dengan Palestina itu sudah lama, jauh sebelum 1948. Era Soekarno juga sama misalnya di Konferensi Asia Afrika tahun 1955,” kata Hilman.
Sementara pada masa Orde Baru, posisi Indonesia terhadap Palestina diistilahkan oleh Hilman sebagai ‘a functional ambiguity’. Hal tersebut karena belum jelasnya sikap Indonesia terhadap Palestina antara mendukung sepenuhnya atau hanya sebagai negara simpatisan semata.
Pasalnya, Indonesia mendukung proses perdamaian yang dilakukan PBB di Timur Tengah namun khusus kasus Palestina. Indonesia menolak mengirimkan bantuan militer sebagaimana yang diminta Mesir dan Syiria. Selain itu, pada tahun 1979 pemerintah Indonesia secara diam-diam membeli 14 pesawat tempur dari Israel.
“Pemerintah Indonesia sebenarnya memiliki hubungan dengan Israel, bahkan membeli senjata dari Israel, pesawat tempur. Tahun 1982 beli pesawat dari Israel jutaan dolar. Jadi kita dengan Israel punya suatu hubungan. Ini pada masa Orde Baru,” ungkap Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Meski demikian, kata Hilman, pada saat Palestina mendeklarasikan kemerdekaan pada 15 November 1988, tiga hari setelahnya Indonesia memberikan pengakuan resmi Palestina sebagai negara yang berdaulat.
Pada masa pemerintahan Gus Dur, Indonesia sempat berusaha membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Cara tersebut sendiri bukan berarti Gus Dur tidak mendukung kemerdekaan Palestina yang sudah digaungkan sejak kepemimpinan Soekarno. Bagi Gus Dur, kata Hilman, Two state solution dirasa sebagai jalan tengah untuk menciptakan perdamaian dari konflik antara Israel dan Palestina.
Pada akhir bahasan, Hlman Latief berharap Indonesia memainkan perannya sebagai penengah dari konflik Palestina-Israel yang telah berlangsung cukup lama ini. Ketua Lazismu Pusat ini juga mempertanyakan apakah Indonesia mendukung two state solution atau one state solution?