MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Kontribusi yang luar biasa dari Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, dalam bidang sosiologi mendapatkan pengakuan yang layak dari civitas akademika Ikatan Sosiologi Indonesia. Pujian tersebut disampaikan oleh Ketua Ikatan Sosiologi Indonesia, Arie Sudjito, yang bahkan memberikan penghargaan kepada Haedar sebagai Anggota Kehormatan Ikatan Sosiologi Indonesia.
Dalam acara Diskusi dan Bedah Buku yang bertajuk “Jalan Baru Moderasi Beragama: Mensyukuri 66 Tahun Haedar Nashir” di Universitas Gadjah Mada pada hari Selasa (23/04), Arie Sudjito menegaskan bahwa Haedar adalah figur nasional yang memiliki pemikiran besar yang sangat mendalam. Pemikiran Haedar tentang moderasi dianggap sebagai solusi yang relevan untuk berbagai tantangan yang dihadapi dalam konteks keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan.
“Saya sangat menghargai Prof. Haedar, yang juga merupakan alumni UGM dengan gelar S2 dan S3 di bidang Sosiologi UGM. Sejak masa sekolah dulu, saya beberapa kali membaca tulisan-tulisannya di koran,” ujar Arie yang juga Wakil Rektor IV Universitas Gadjah Mada.
Pada kesempatan tersebut, Haedar juga menggambarkan perbedaan dalam pemahaman umat Islam tentang konsep moderasi. Haedar membedakan dua corak pemikiran yang berkembang di kalangan umat Islam terkait dengan moderasi.
Menurut Haedar, kelompok pertama melihat moderasi sebagai konsep yang membolehkan segala hal. Pendekatan ini kadang-kadang menghasilkan ide tentang sinkretisme agama. Sementara itu, kelompok kedua tidak sepenuhnya setuju dengan penggunaan istilah moderasi, mereka lebih condong menggunakan istilah wasathiyah yang dianggap lebih sesuai. Bagi kelompok ini, moderasi dianggap sebagai konsep yang terpengaruh oleh pandangan Barat, sementara wasathiyah dianggap lahir secara otentik dari tradisi Islam.
Haedar menjelaskan bahwa pada hakikatnya, moderasi dan wasathiyah memiliki makna yang sama. Menurutnya, keduanya tidak boleh dipahami sebagai konsep yang membolehkan segala hal. Bagi Haedar, moderasi atau wasathiyah seharusnya dipahami sebagai sikap tengah atau keseimbangan dalam pandangan dan tindakan, tidak condong kepada ekstremisme.
Selain itu, Haedar juga menyoroti hubungan antara sikap puritanisme, radikalisme, dan pentingnya moderasi dalam konteks keagamaan dan sosial di Indonesia. Menurutnya, sikap puritanisme tidak secara otomatis mengarah kepada radikalisme. Semangat untuk melakukan koreksi atau perbaikan tidak berarti memiliki semangat kekerasan.
Karenanya, dalam menanggulangi isu radikalisme, Haedar tidak sepakat bila menggunakan cara-cara deradikalisme. Menurutnya, konsep radikalisme dan deradikalisme seringkali tidak menghasilkan solusi yang berkelanjutan, bahkan bisa menciptakan bentuk-bentuk baru dari radikalisme itu sendiri.
Dalam pandangannya, Haedar menegaskan bahwa pentingnya menempatkan kontra radikalisme dengan pendekatan moderasi. Ia percaya bahwa bangsa Indonesia memiliki modal moderasi yang kuat. Sejarah peralihan dari kepercayaan Hindu dan Buddha ke Islam di Indonesia adalah bukti yang nyata bahwa transformasi tersebut dapat berlangsung secara damai tanpa adanya kekerasan.
“Indonesia perlu dibangun dengan pondasi moderat,” kata Haedar, merangkum pandangannya tentang pentingnya moderasi dalam membangun masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan di Indonesia.