MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA—Dalam kamus Mu’jamul Wasith disebutkan, takziyah berarti menghibur agar bersabar atas sesuatu yang menimpanya. Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni menyebutkan bahwa takziyah adalah “menghibur keluarga yang tertimpa musibah, memenuhi hak-haknya, mendekatinya, dan memenuhi kebutuhannya seperti biasanya setelah pemakaman”.
Menurut As-Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh as-Sunnah, takziyah adalah menyabarkan dan menghibur orang yang ditimpa musibah dengan menyebutkan hal-hal yang dapat menghapus duka dan meringankan penderitaannya.
Menurut Wakil Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Sopa dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (21/09), hukum ber-takziyah itu sangat dianjurkan alias mutahab, walaupun orang meninggal dunia tidak seagama dan hal itu dilakukan sekali saja. Dalam hadis dari sahabat Amr ibn Hazm, Nabi bersabda: “Orang mukmin yang melawat (melayat) saudaranya (sesama muslim) yang menderita musibah, niscaya Allah akan memakai pakaian perhiasan kemuliaan kepadanya pada hari kiamat kelak”. (HR Ibnu Majah dan alBaihaqy).
Sementara itu, tata cara takziyah pertama-tama ialah Mengucapkan: “Innalilla-hi wa inna-ilaihi ra-ji’u-n” (istirja’) seraya berdoa: “Alla-humma ajirni- fi- mushi-bati- wa akhlif li- khairan minhaa”. Hal ini berdasarkan hadis: “Dari Ummu Salamah (diriwayatkan) bahwa ia berkata; Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Tidaklah seorang mukmin tertimpa musibah lalu ia membaca apa yang telah diperintahkan oleh Allah, innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun, allahumma ajurnii fii mushiibatii wa akhlif lii khairan minhaa (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Ya Allah, berilah aku pahala karena musibah ini dan tukarlah bagiku dengan yang lebih baik daripadanya), melainkan Allah menukar baginya dengan yang lebih baik” (HR. Ahmad nomor 25498, Muslim nomor 918 dengan lafal Muslim).
Setelah itu, menghibur keluarga yang ditinggalkan dan meringankan kesedihannya, menganjurkannya untuk bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah swt, juga diperbolehkan untuk mengucapkan halhal yang baik lainnya (terstimoni). Kemudian membuatkan makanan bagi keluarga yang ditinggalkan, serta mencukupi kebutuhannya. Sebagaimana dalam hadis disebutkan ketika Ja’far ditimpa musibah, Rasulullah saw pulang kepada keluarganya dan bersabda: “Sesungguhnya keluarga Ja’far tertimpa sesuatu yang menyibukkan kematian mereka, maka buatkanlah makanan untuk keluarganya”. (Sunan Ibn Majah nomor 1611). Terakhir, dianjurkan untuk menshalatkan jenazah dan mengantarkannya sampai kubur.
“Telah menceritakan kepada kami Uqbah Ibn Mukram dan Ibn Al Mutsanna keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Wahb Ibn Jarir, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Bapakku ia berkata, Aku mendengar Muhammad Ibn Abu Ya’qub ia menceritakan dari Al Hasan Ibn Sa’d dari Abdullah Ibn Ja’far berkata, Nabi saw memberi tenggang waktu untuk keluarga Ja’far selama tiga hari, setelah itu beliau datang kepada mereka dan bersabda: Setelah ini, janganlah kalian menangisi saudaraku. Setelah itu beliau bersabda: Undanglah kemari bani saudaraku. Kami lalu dihadapkan kepada beliau layaknya anak-anak ayam, beliau lantas bersabda: Panggilkan tukang cukur kepadaku. Beliau lalu memerintah tukang cukur itu (untuk mencukur), hingga kami semua dicukur olehnya.” (HR. Abu Dawud nomor 3660 dan Ahmad nomor 1659).
Sopa juga menyampaikan bahwa masa berduka atau berkabung keluarganya dan orang-orang yang ditinggalkannya adalah tiga hari. Sebagaimana Rasulullah saw pernah menyampaikan kepada keluarga Ja’far ketika ayahnya gugur dalam perang Mu’tah. Namun, ada kekhususan bagi seorang istri, bahwa ia diperbolehkan berkabung atas suaminya lebih dari tiga hari.