MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA — Islam memiliki pandangan yang jelas terhadap apa yang disebut sebagai Negara atau bangsa. Bagi sebagian yang menganggap negara hanya tanah kelahiran semata dan bersifat instrumental, mereka akan cenderung menjadi paham yang puritan-instrumental.
Kecintaan terhadap tanah air, menurut Haedar Nashir merupakan contoh yang diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW. Kerisalahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad bukan suatu yang kebetulan, teladan baik begitu banyak dicontohkannya. Mislanya, setelah perpindahannya ke Madina, Nabi tetap menjaga dan tidak mencerabut keragaman yang sudah ada di Madina.
“Sampai Nasrani dan Yahudi diberi hak hidup, dan beliau mengatakan silahkan kalian di negeri ini tetapi kalian punya hak di kewajiban juga. Yang kemudian hari lahir Piagam Madina,” kata Haedar dalam acara Amanat Milad, “Indonesia dan Keindonesiaan” yang diselenggarakan oleh PWM Jabar pada (13/11).
Ketua Umum PP Muhammadiyah ini menyebut, konstruksi kesejarahan dan teologis kerisalahan nabi sesungguhanya memberi pondasi bagi masyarakat muslim di Indonesia, bahwa cinta kepada tanah air adalah bagian dari sikap dan pandangan keagamaan yang melekat dengan Islam. Haedar menegaskan, antara Islam dan Negara bukan suatu yang dipertentangkan.
Meskipun demikian, masih jamak ditemukan pandangan keagamaan yang puritan dan terlalu teologis sehingga tidak bisa meletakkan agama dalam suatu realitas. Sebagian ini bahkan menganggap cinta kepada tanah air itu syirik, dan meletakkan cintanya hanya kepada Allah. Pandangan ini seakan-akan benar, tetapi reduksionalistik.
“Persis sama ketika ada sebagian orang Islam. Ngapain takut kepada pandemi padahal hanya virus covid-19, takut itu hanya kepada Allah. Seakan-akan itu sangat teologis dan sangat tauhidi, tetapi ini sebenarnya tasyhabuh yang tidak tepat,” ujar Haedar.
Kontruksi tersebut menjadi reorientasi paham keagamaan di Muhammadiyah. Sehingga cinta kepada tanah air dan orientasi hidup keagamaan tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Tentang cinta tanah air, Islam menganut pandangan wathaniyah (tanah air) dan muwathaniyah (kewargaan). Dari sini bisa dipahami ihwal intergasi antara keislaman dan keindonesiaan yang dimiliki oleh para pahlawan menyatu.
Namun jika ada dinamika politik, ekonomi dan budaya yang sifatnya melahirkan konflik dan ketegangan, menurut Haedar, hal itu adalah bagian dinamika hidup dimanapun, bukan hanya di Indonesia. Karena kalau sudah menyangkut wilayah konflik, dipastikan banyak faktor terlibat didalamnya. Bentang konflik dalam Islam terjadi sudah lama, bahkan sudah ada sejak zaman khulafaur rasyidin.
“Ini adalah kejadian politik Islam yang duniawi, artinya ada sesuatu yang postif, ada sesuatu yang sifatnya negative, dan itulah hidup. Maka nanti dibelakang hari seakan-akan bahwa dunia politik keagamaan dan dunia politik Islam itu seperti memindah republik surga di dunia, itu sesungguhnya idealisasi saja, karena realitasnya tidak seperti itu,” urainya.
Sisi-sisi gelap dunia adalah suatu keniscayaan, sehingga membutuhkan perspektif keislaman menjadi penting. Meskipun demikian, Haedar tidak menafikan bahwa ada sebagian dari umat Islam dan umat agama lain yang memiliki pandangan yang bias, terreduksi dalam melihat Negara atau tanah air.
Dalam konteks umat Islam hal itu disebabkan antara lain, karena reduksi pemahaman tentang politik Islam. Politik Islam terlalu diletakkan integrasionalistik yang utopia, padahal politik Islam itu realistik. Maka nabi tidak pernah memformat bentuk Negara, tentang system politik, sehingga sejarah Nabi SAW bisa dibaca melalui banyak aspek dan perspektif.
“Bagi mereka yang tidak ingin memformat sebuah Negara, bahwa itu hanya sebagai tamadun. Tapi bagi yang ingin memformat sebagai sebuah Negara, Nabi itu dianggap berperan sebagai kepala Negara. Bahwa sejarah nabi itu bisa dipersepsi banyak segala hal,” imbuhnya.
Dibelakang hari, sebut Haedar, ada pihak-pihak yang mereduksi paham tersebut. Reduksi yang dilakukan menempatkan seakan-akan Islam tidak memiliki konsep wathaniyah dan muwathaniyah. Selanjutnya, pihak tersebut menganggap sistem politik Islam dengan bentuknya dianggap tunggal, dan qath’i, padahal tidak tunggal dan tidak qath’i.
Menurutnya, bentuk sebuah sistem Negara merupakan ijtihad dari sekian ragam bentuk politik Islam. Haedar secara khusus melalui buku Indonesia dan keIndonesaiaan yang ditulisnya, mengajak generasi baru agar terbuka wawasan tentang keterkaitan antara konsep Islam dan Kenegaraan, serta Indonesia sebagai tanah air dan Negara merupakan bagian dari rumah kita.
Saat ini, menurut Haedar, Indonesia menjadi medan tarik-menarik berbagai pandangan dan paham. Sehingga perlu meletakkan suatu pendangan dalam kacamata konflik, karena jika hanya memakai kacamata ideologi, besar kemungkinan akan menimbulkan ketidak-adilan pandangan. Karenanya, Muhammadiyah pada muktamar yang ke-47 di Makassar menghasilkan putusan Negara Pancasila Darul ahdi wa Syahadah.