Sebagian besar tokoh muslim dalam pergerakan kemerdekaan nasional berlatar belakang Muhammadiyah. Ketua PP Muhammadiyah, Hajriyanto Y. Thohari dalam berbagai kesempatan menyebut sejarah kemerdekaan Republik Indonesia tidak lain adalah sejarah Muhammadiyah.
Kontribusi Muhammadiyah bersama umat Islam lainnya di dalam pergerakan nasional tidak terbantahkan. Meski demikian, tak banyak informasi sejarah berhasil menghubungkan latar afiliasi organisasi keagamaan dan para tokoh pergerakan nasional. Tak heran, peneliti sejarah Islam Asia Tenggara asal University of North Carolina, Kevin W. Fogg bertanya-tanya.
Akibatnya banyak generasi muda tidak mengenal ketokohan mereka di organisasi keagamaan masing-masing. Hal ini terjadi pada dr. Soetomo. Ia adalah salah satu tokoh utama pendiri organisasi Budi Utomo bersama Ki Hadjar Dewantoro. Tidak banyak orang mengenal ketokohan dr. Soetomo bersama Muhammadiyah.
Di Balik Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) Muhammadiyah
Berdirinya organisasi Budi Utomo (Boedi Oetomo) pada 1908 sebagai pioner gerakan Kebangkitan Nasional beririsan dengan misi pergerakan Muhammadiyah di bidang pendidikan.
Tidak hanya membantu legalitas pendirian Muhammadiyah, tokoh-tokoh Budi Utomo juga bersahabat dengan Muhammadiyah. Tak heran, Kongres Budi Utomo tahun 1917 diselenggarakan di rumah pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.
Dalam otobiografi Fatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno (1985), salah satu tokoh Budi Utomo sekaligus pendiri Tamansiswa, Ki Hadjar Dewantoro dicatat sebagai salah satu sahabat terdekat tokoh Muhammadiyah, Kiai Mas Mansur dan Ir. Soekarno.
Pertemuan dan irisan visi kedua organisasi ini diperkirakan menjadi awal pertemuan dr. Soetomo dengan sosok dan pemikiran Kiai Ahmad Dahlan kendati diperkirakan berlangsung sangat terbatas dan singkat.
Sebab pertama, Soetomo berada di Jakarta dan Kiai Ahmad Dahlan berada di Yogyakarta. Sebab kedua, dr. Soetomo setelah lulus dari STOVIA berkeliling tempat di Jawa dan Sumatera untuk praktik Kedokteran. Apalagi pada November 1919, Soetomo berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studi.
Catatan terkuat tentang keterlibatan dr. Soetomo di dalam Muhammadiyah terjadi sejak dirinya pulang ke Surabaya dari studi panjang terkait pendidikan spesialis penyakit kulit di Universitas Amsterdam dan Jerman pada 1923, tahun di mana Kiai Ahmad Dahlan meninggal dunia.
Setibanya di Surabaya, dr. Soetomo berkenalan dengan salah satu murid kesayangan Kiai Ahmad Dahlan, yaitu Kiai Mas Mansur (kelak menjadi Ketua PP Muhammadiyah 1936-19420).
Di rumah dr. Soetomo yang berada di Palmelaan Surabaya (sekarang Jl. Panglima Sudirman) keduanya sering berdiskusi mendalam dari soal agama, politik, filsafat sampai teologi hingga pukul 2 atau 3 dini hari.
Jadi Penasehat Bidang Kesehatan di Muhammadiyah
Pertemuan keduanya ini diperkirakan menjadi sebab awal keterlibatan dr. Soetomo secara resmi sebagai Medische Adviseur (penasihat dalam urusan kesehatan) di tahun 1925. Meskipun begitu, dr. Soetomo sudah terlibat dalam dakwah kemanusiaan Persyarikatan Muhammadiyah dua tahun sebelumnya.
Abdul Munir Mulkhan dalam Demokrasi di Bawah Bayangan Mimpi N-11 (2011) dan Kiai Ahmad Dahlan: Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan (2010) menulis bahwa dr. Soetomo berperan pokok dalam memelopori pendirian Rumah Sakit PKU Muhammadiyah pertama di Yogyakarta pada 1923.
Mendirikan Rumah Sakit Muhammadiyah di Surabaya
Setahun kemudian pada 1924, dr. Soetomo mendirikan poliklinik Muhammadiyah di Sidodadi rumah nomor 57 yang kelak menjadi Rumah Sakit Muhammadiyah Surabaya yang sekarang berlokasi di Jl KH Mas Mansyur 180-182.
Pembukaan Poliklinik Muhammadiyah Surabaya pada hari Ahad, 14 September 1924 yang dihadiri oleh perwakilan Pengurus Besar Muhammadiyah Haji Soedja’ dan Ki Bagus Hadikoesoemo itu tercatat sebagai peristiwa fenomenal.
Pada momen tersebut, dr. Soetomo memaparkan pidato pendek nan bernas terkait ideologi dan visi Persyarikatan Muhammadiyah yang sama sekali bertentangan dengan etika Darwinisme masyarakat Barat.
Etika Welas Asih Muhammadiyah ala dr. Soetomo
Etika Darwinisme menekankan persaingan, konflik dan sifat individualistik-egois, sementara Muhammadiyah berdasarkan Al-Ma’un yang menekankan ketulusan pengorbanan, welas asih, dan inklusivisme.
“Besok pagi akan kita buka Poliklinik ini. Siapa juga, baik orang Eropa, baik orang Jawa (orang pribumi), baik China atau bangsa Arab, boleh kemari, akan ditolong dengan cuma-cuma, asalkan betul miskin,” demikian salah satu kalimat pidato dr. Soetomo.
Abdul Munir Mulkhan dalam Teologi Kiri (2010) menyebut pidato ‘Etika Welas Asih’ dr. Soetomo sebagai pijakan gerakan modern Muhammadiyah yang justru berbeda dengan kemodernan Eropa yang mengabaikan orang-orang tertindas dan terlantar.
“Dokter ini (Soetomo) terkesima melihat aksi-aksi kemanusiaan gerakan Muhammadiyah membantu orang miskin, orang sakit, bukan dengan maksud setelah dibantu, orang itu didorong mengubah keyakinannya menjadi Islam atau menjadi pengikut Muhammadiyah,” tulisnya.
Beberapa tahun setelah pidato ini, lahirlah Asas PKO yang dimuat dalam Almanak Muhammadiyah 1929 yang diterbitkan oleh Bahagian Taman Pustaka. Asas tersebut berbunyi:
“Pertolongan Moehammadijah b/g P.K.O. itoe boekan sekali-kali sebagai soeatoe djaring kepada manoesia oemoemnya, supaja dapat menarik hati akan masoek kepada agama Islam atau Perserikatan Moehammadijah, itoe tidak; akan tetapi segala pertolongannja itoe semata-mata karena memenoehi kewadjiban atas agamanja Islam terhadap segala bangsa, tidak memandang agama.”
Kontroversi dr. Soetomo dan Buya Hamka
Dr. Soetomo atau yang bernama kecil Soebroto bin Raden Soewadji ini lahir di Nganjuk, 30 Juli 1888. Nama Soetomo dia gunakan saat dirinya mulai masuk ke sekolah menengah.
Sebagai orang yang dipuji Kiai Mas Mansur berwatak tenang, hati-hati, berperangai halus dan mulia, agaknya karakter itu menjadi alasan Soetomo memilih bergabung dengan Muhammadiyah daripada bergabung dengan gerakan SI dan PKI yang dinilainya cenderung dikotomis dan radikal.
Di kalangan muslim tertentu, nama dr. Soetomo anehnya justru dikenang sebagai ‘penista Islam’ berdasar kasus tulisan Siti Soemandari berjudul “Huwelijks Ordonantie en Vrouwen Emancipatie” di koran Bangoen Nomor 8 dan 9 tahun 1937.
Kasus lainnya adalah pernyataan kontroversial dr. Soetomo sebelum tahun 1932 yang menyebut bahwa manusia sejatinya lebih baik pergi ke Digul daripada berhaji ke Makkah. Ulama Muhammadiyah, Hamka sontak marah ketika mendengar pernyataan tersebut.
KH. Mas Mansur Menenangkan Hamka
Di dalam buku Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam (2020), Hamka menuturkan pernah membahas hal ini bersama para tetua Muhammadiyah di Yogyakarta pada tahun 1932. Salah satunya dengan Kiai Hasyim yang menjabat sebagai sekretaris Pengurus Besar Muhammadiyah.
Dalam kesempatan itu, Kiai Hasyim mengejutkan Hamka karena berpandangan bijak, luas dan arif. Kiai Hasyim menekankan pentingnya pemaknaan firman Allah ‘billati hiya-ahsan’ dalam Surat An-Nahl ayat 125 sekaligus menyarankan Hamka untuk bertemu langsung dengan dr. Soetomo di Surabaya.
“Setelah mendengar keterangan dari Saudara Haji Hasyim itu, timbullah tekad dalam hati saya ketika itu, dalam usia baru sekitar 25 tahun bahwa kalau singgah di Surabaya saya tidak hendak singgah kepada dr. Soetomo, supaya tetap benci kepadanya. Sebab kalau saya bertemu dengan dia, saya ‘takut’ saya akan terpengaruh (akhlaknya) lalu mengubah pandangan saya,” tulis Hamka.
Soetomo sendiri enggan menanggapi sebab dirinya berprinsip bahwa tidak ada gunanya melayani polemik yang tidak mencerahkan pemikiran rakyat, kendati pun dia bisa menang dalam berdebat. Sementara itu sikap Hamka yang masih muda dan labil berbanding terbalik dengan sikap dari Kiai Mas Mansur.
Meredakan kesalahpahaman, Kiai Mas Mansur menjelaskan bahwa maksud dari dr. Soetomo adalah untuk sampai ke Digul seseorang harus berjuang dengan mengorbankan semua harapannya, dengan duka dan segala rasa putus asanya. Sedangkan Makkah dapat didatangi dengan uang dan perbekalan yang cukup dan dengan hati yang gembira. Demikian tulis Isngadi dalam Suara Muhammadiyah (4/2021).
Tak Mau Terima Gaji dari Rumah Sakit Muhammadiyah
Hingga masa akhir hidupnya di tahun 1938, dr. Soetomo mewakafkan waktunya untuk mengelola Rumah Sakit Muhammadiyah di Surabaya tanpa menerima gaji.
Sutrisno Kutojo dalam Riwayat Penghidupan Dr Soetomo dan Perjuangannya (1978) bahkan menulis pengakuan Kiai Mas Mansur bahwa dr. Soetomo berperan besar terhadap tumbuhnya rumah obat, klinik, dan poliklinik beserta dokter-dokter di Muhammadiyah.
Bakti dr. Soetomo bagi Bangsa
Di luar Muhammadiyah, dr. Soetomo banyak memprakarsai didirikannya koperasi tani, koperasi mebel, koperasi buruh, dan lain sebagainya. Bahkan dr. Soetomo juga menampung para pengangguran di Surabaya dan menyalurkannya sesuai bakat mereka di dalam koperasi tersebut, demikian tercatat dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur (1978).
Lewat Partai Indonesia Raya (Parindra), dr. Soetomo juga menginisiasi pendirian beberapa panti asuhan dan rumah sakit. Semua dilakukannya untuk mewujudkan Indonesia yang tidak sekadar merdeka, tetapi Indonesia yang mulia.
Tanpa sempat mengecap Kemerdekaan Indonesia, dr. Soetomo, wafat di usia 49 tahun pada tanggal 30 Mei 1938. Gelar Pahlawan Nasional dia dapatkan pada tahun 2008 silam. Lewat Bunga Rampai Raden Soetomo (1932) oleh Puspa Rinonce, dr. Soetomo menjelaskan maksud cita-cita Indonesia Mulia.
“Meskipun kemerdekaan sudah tercapai, kita masih harus berjuang dan masih harus berkorban—dan bahkan mungkin lebih sukar—untuk memperoleh kemuliaan, memperbaiki keadaan rakyat, membangun rakyat pribumi, memperbaiki keadaan ekonomi dan sosial kita,” tulis dr. Soetomo.
Penulis: Afandi
Editor: Fauzan AS