MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Dalam hadis disebutkan: “Diriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa Fatimah binti abu Hubaisy sedang istihadhah lalu dia bertanya kepada Nabi Saw (tentang hal itu), maka Nabi Saw mengatakan ‘itu adalah penyakit, bukan haid, jika haid datang maka tinggalkanlah salat dan jika haid pergi maka mandilah dan salatlah’.” [HR. al-Bukhari].
Hadis di atas menggunakan kata perintah ightasili (mandilah) dan shalli (salatlah). Dalam kaidah ushul fiqh dikatakan bahwa al-amru ‘inda al-ithlaq yaqtadhi al-wujub wa al-mubadarah bi fi‘lihi (perintah mutlak/tanpa tambahan ikatan menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan hukumnya wajib dan harus segera dikerjakan). Artinya, Nabi Saw memerintahkan kepada kaum wanita untuk menyegerakan mandi ketika haid sudah selesai, tidak boleh menunda-nunda.
Lalu untuk menentukan akhir masa haid, Nabi Saw juga memberikan petunjuk seperti dalam riwayat ‘Aisyah berikut: “Diriwayatkan dari ‘Aisyah istri Nabi Saw, ia berkata: Ummu Habibah binti Jahsy yang berada di bawah (istri) Abdurrahman bin ‘Auf mengadu kepada Rasulullah Saw tentang darahnya, lalu Nabi Saw berkata kepadanya: ‘Diamlah selama masa haidmu biasanya menahanmu, setelah itu mandilah.’ Ia biasanya mandi suci setiap salat.” [HR. Muslim].
Dengan demikian, untuk bersuci dari haid seorang wanita juga tidak harus buru-buru, namun sesuai kebiasaan. Jika memang biasanya keluar sedikit-sedikit, maka pada beberapa saat ia bisa menunggu sampai akhir masa kebiasaan haidnya. Bahkan dalam suatu riwayat (atsar) diceritakan bahwa ‘Aisyah mendapat kiriman kapas bernoda kuning sisa haid dari para perempuan, maka dia mengatakan: Jangan tergesa-gesa, sampai kalian melihat warna putih! (atsar ini dapat dilihat pada buku as-Sunan al-Kubra lil-Baihaqi; bab as-sufrah wa al-kudrah fi ayyam al-haidl haidlun). Jadi, jika digabungkan antara perintah menyegerakan mandi, menghitung akhir haid sesuai kebiasaan dan tanda-tanda akhir haid yang dikatakan ‘Aisyah di atas, dapat dipahami bahwa seorang wanita tidak harus segera mandi ketika darah sudah tidak mengalir setiap waktu, pada akhir-akhir masa haid. Ia dapat menunggu sesuai kebiasaan akhir haidnya dan di antara tandanya adalah keluar warna putih. Dan jika warna putih sudah keluar, maka ia harus bersegera mandi.
Lantas, harus menjamak salat atau tidak? Majelis Tarjih menjelaskan bahwa ijmak ulama menyepakati bahwa wanita haid tidak diperintahkan mengqadha` salat, juga seperti dalam riwayat Abu Dawud berikut: Diriwayatkan dari Mu`adzah bahwa seorang perempuan bertanya kepada ‘Aisyah: Apakah perempuan haid harus mengqadha’ salat? ‘Aisyah menjawab: Apakah kamu bidadari? Kami haid pada masa Rasulullah Saw dan kami tidak mengqadha’ salat dan tidak diperintah untuk mengqadha’.” [HR. Muslim].
Jadi, wanita haid tidak perlu mengqadha’ maupun menjamak salat. Kondisi pada saat Magrib adalah pada masa menunggu apakah darah akan keluar lagi atau tidak, maka masih berada dalam keraguan. Kaidah ushul fikih menyatakan bahwa: “Keyakinan (kepastian) tidak dapat dihapuskan dengan yang keraguan.” Maksudnya adalah jika seseorang merasa ragu pada suatu masalah, seperti seseorang yang sudah berwudhu merasa ragu apakah dia mengeluarkan angin atau tidak, maka yang diakui adalah keyakinan awalnya yaitu dia sudah berwudhu.
Keraguannya akan keluarnya angin tidak diakui. Jika yakin bahwa darah haid benar-benar berhenti pada saat Isya, pada saat Magrib darah masih diragukan berhenti atau tidak, maka yang diakui adalah suci pada saat Isya, bukan pada saat Magrib. Jadi hanya dikenakan kewajiban salat Isya, serta tidak perlu menjamak dengan salat Magrib.
Hits: 8485