MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA—Muhammadiyah dalam menjalankan program yang dicitakan dibantu oleh majelis, lembaga, termasuk organisasi otonom (ortom). Diantaranya adalah diperankan oleh Majelis Pustaka dan Informasi (MPI).
Seperti yang disampaikan oleh Wakil Ketua MPI PP Muhammadiyah, Wiwied Widyastuti saat dimintai keterangan oleh reporter muhammadiyah.id pada Rabu (25/11) melalui sambungan media.
Ia mengungkapkan, peran MPI dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan Muhammadiyah tertuang dalam visi MPI, yakni membangun budaya pustaka dan informasi sebagai organisasi Islam modern ditengah dinamika perkembangan masyarakat yang kompleks.
Jika dikontekstualisasikan dengan rentang usia Muhammadiyah yang ke-108 tahun, peran MPI adalah sebagai ‘corong’ yang memberikan informasi bagi khalayak terkait dengan maksud dan tujuan Muhammadiyah.
Sebagai majelis tertua yang dimiliki Muhammadiyah, dalam kesejarahannya MPI berperan penting dalam distribusi wacana Islam Berkemajuan. Sebelum berubah menjadi MPI, adalah Bahagian Taman Poestaka yang bertugas mengurusi sarana literasi persyarikatan.
“Secara kolaboratif peran MPI adalah memberikan edukasi ke masyarakat. Dalam konteks pandemi, MPI sebagai kanal penyebar edukasi yang dilakukan oleh lembaga filantropi Muhammadiyah,” tuturnya.
Berbicara tentang Muhammadiyah, menurut Wiwied adalah membincang keragaman dan kemajemukan. Persebaran organisasi yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada 8 November 1912 ini, di masa awal atau pada sekitar tahun 1920-an sudah sampai ke Papua, dan ujung Sumatera.
Untuk menjaga memori kolektif tersebut, Muhammadiyah membangun musem Muhammadiyah. Menurutnya, legacy sejarah yang dimiliki oleh Muhammadiyah harus dirawat dan didokumentasikan.
“Muhammadiyah sudah menghasilkan narasi sejarah yang luar biasa, termasuk amal usaha dan ketokohan dari tokoh Muhammadiyah. Itulah yang ingin didokumentasikan oleh Musem Muhammadiyah,” imbuhnya.
Keberadaan Musem Muhammadiyah diharapkan menjadi etalase Muhammadiyah, sekaligus sebagai media informasi untuk transformasi nilai bagi para generasi yang akan datang.
Wiwied menegaskan, Muhammadiyah meskipun lahir dilingkungan masyarakat jawa, namun Muhammadiyah bukan hanya Jawa. Melainkan kelahiran Muhammadiyah untuk kemanusiaan universal. Penegasan ini harus dipatri dalam benak generasi penerus.
Sehingga musem sebagai komitmen situs perangkum keragaman yang dimiliki oleh Muhammadiyah. Kehadiran Muhammadiyah pada suatu wilayah, akan mengalami akulturasi budaya. Karenanya Muhammadiyah pada setiap daerah memiliki corak warna khas.
“Kita ingin mengatakan bahwa setiap wilayah punya warna sendiri sesuai dengan karakter lokalnya. Inilah menjadi salah satu kekuatan Muhammadiyah tetap bertahan, karena setiap wilayah memiliki corak dan tidak meningalkan local wisdomnya,” urai Wiwied.
Merawat keragaman dalam Muhammadiyah, MPI akan megadakan Fachrodin Award. Yakni menganggkat tokoh-tokoh lokal Muhammadiyah yang berasal dari berbagai penjuru.
Kesadaran akan peran tokoh lokal menurut Wiwied adalah untuk mengisi ruang kosong keteladanan dan inspirasi bagi penerus perjuangan. Sehingga protoipe dakwah kaum muda dalam membangun negeri tidak hanya bersumber dari tokoh-tokoh populis yang wara-wiri di media sosial.