MUHAMMADIYAH.OR.ID, ARIZONA—Pengalaman eksistensial Abu Hamid Al Ghazali (1111/450) dalam mencari kebenaran ditulis dalam kitabnya yang berjudul Al Munqidz min al-Dhalal. Kitab yang ditulis pada tahun 500 H atau lima tahun sebelum wafat ini, telah menyihir sejumlah intelektual baik dari Timur maupun Barat.
Hal ini wajar belaka, pada bagian awal kitab ini saja telah begitu terasa aroma kegelisahan Sang Hujjatul Islam dalam menceri telaga kebenaran.
Menurut Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Amerika Serikat Muhamad Rofiq Muzakkir, dalam buku autobiografinya itu, Al Ghazali menceritakan bagaimana ia berkutat mencari segala ilmu yang dapat meyakinkan dirinya dari segala keraguan. Saat muda, ia mengalami keraguan tentang dari mana sumber ilmu pengetahuan itu dapat digali; pada saat usia senja, ia meragukan tentang apa sesungguhnya motivasi terbesar dalam mencari ilmu pengetahuan itu, apakah kekuasaan, popularitas, atau murni karena Allah.
Karena krisis keraguan ini, Al Ghazali sampai menderita sakit yang tidak bisa diobati oleh dokter paling canggih sekali pun pada masa itu. Hal inilah yang mendorongnya untuk meninggalkan seluruh jabatan prestisus di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, kemudian mengembara dan mengasingkan diri di Damaskus. Di sana ia menjalani praktek riyadhah dan mujahadah disambi dengan menulis beberapa kitab untuk membasahi batin spiritualnya yang sempat kering.
Pada dasarnya, ujar Rofiq, keraguan yang mengisi pikiran Al Ghazali ini bersifat metodologis, ketimbang subtantif. Ia samasekali tidak meragukan keberadaan Tuhan, Rasulullah Saw sebagai penutup para Nabi, kebenaran Al Quran, dan kepastian akan datangnya Hari Akhir.
Skeptisisme metodologis yang dirasakan Al Ghazali berkisar pada bagaimana ilmu itu dapat diperoleh dan bagaimana seseorang yakin bahwa ilmu yang peroleh itu adalah kebenaran?; dan apa motivasi terbesar dalam mencari ilmu? Rofiq menerangkan bagaimana Al Ghazali menemukan apa yang ia sebut dengan ‘ilm al-yaqin, yakni kebenaran yang absolut hingga tak ada lagi ruang bagi keragauan.
Bagi Al Ghazali, kebenaran absolut tidak bisa didapat hanya melalui jalur imitatif tanpa demonstratif. Untuk itulah ia begitu keras mengkritik orang-orang taklid karena tidak mendorong potensi akalnya untuk berpikir. Taklid memang berkontribusi dalam membentuk otoritas, namun dalam bayangan Al Ghazali juga dapat mematikan nalar investigatif. Jika taklid tak mampu mengantarkan pada kebenaran hakiki, secara bertahap, panca indera dapat digunakan untuk menguji kebenaran suatu ilmu. Sensor inderawi merupakan merupakan tahap paling awal manusia dalam menerima informasi tentang tentang warna, rasa, bau, suara, dan getaran. Hal ini berguna sebagai jembatan untuk menghubungkan organisme dengan lingkungan. Namun, Al-Ghazali meragukannya karena pencerapan inderawi tidak dapat disandari lantaran dapat saja menyesatkan atau dinyatakan salah oleh akal. Seperti mimpi yang terasa nyata oleh indera, tapi hanya delusi tatkala terjaga.
Al Ghazali juga meragukan akal sebagai jalan untuk mencapai kebenaran yang hakiki. Sempat meyakini akal sebagai sumber kebenaran tertinggi, namun di kemudian hari justru membuat al-Ghazali menjadi semakin terhimpit oleh kesangsian dan keraguan yang lebih berat dari sebelumnya.
Menurutnya, akan selalu ada pengaruh wahm dan khayal dalam setiap penggunaan akal. Untuk mengantisipasi ini, dibutuhkan sumber kebenaran yang posisinya lebih tinggi dari akal. Al Ghazali menyebutnya dengan Hakim Akhar (hakim lain) atau Cahaya Ilahi.
Dengan demikian, menurut Al Ghazali, Cahaya Ilahi merupakan sumber kebanaran yang tidak lagi menyisakan ruang keraguan. Kemampuan ini diperoleh dari mukasyafah atau tersingkapnya jiwa menerima kebenaran ilahi. Untuk mencapai tahap ini, seseorang harus menjalani proses-proses tertentu dan tahap demi tahap dalam tasawuf. Hal ini juga turut menjelaskan bahwa motivasi mencari kebenaran adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah.
“Setelah pencarian, Al Ghazali menyadari Hakim Akhar adalah Cahaya Ilahi. Apa maknanya Cahaya Ilahi? Para peneliti berbeda tentang hal ini: bisa iman kepada Allah atau wahyu kepada Nabi. Pada intinya, Cahaya Ilahi-lah uang menjadi proper faculty of knowledge yang berada di atas akal,” ucap Rofiq dalam kajian tentang Al Ghazali pada Sabtu (10/09).
Rofiq menganalisis bahwa skeptitisme metodologis yang diceritakan Al Ghazali dalam kitab Al Munqidz tersebut lebih besifat pedagogis, alih-alih penyakit mental atau neorologi. Dari sini Al Ghazali begitu piawai bagaimana ia menerapkan strategi persuasif yang menggiring pemikiran pembaca untuk menerima konsep kebenaran yang ditawarkannya, melalui tahap demi tahap pengalaman dan kesaksian personal.
Lebih jauh, kata Rofiq, komposisi skematik yang terdapat dalam kitab Al-Munqidz merupakan strategi yang sempurna untuk menjelaskan tentang ketidakcukupan ilmu yang didapatkan dari sense (panca indera), reason (akal), dan menekankan pentingnya wahyu. Selain itu, berdasarkan uraian di atas terlihat jelas bahwa bagi Al Ghazali, manusia perlu ragu agar betul-betul serius dengan keyakinanya. Keraguan bisa mendatangkan manfaat keilmuan, mendorong terjadinya verifikasi, meluruskan sesuatu yang keliru, dan menambahkan keyakinan.
Ragu di sini artinya, kata Rofiq, melakukan tugas berfikir (operation of thinking) atau berfikir kritis (critical thinking) atau dalam istilah teknis ilmu kalam disebut nadzar. “Ragu dalam hal ini sama dengan menguji data, dan memastikan tidak ada kesalahan di dalamnya. Ilmu yang tidak didapatkan melalui jalan ragu, tidak mendorong proses verifikasi dan tidak menambah ilmu,” ucap Rofiq.
Akan tetapi, Rofiq juga turut menggarisbawahi bahwa ragu bukan suatu keharusan. Manusia bisa sampai kepada tahap keyakinan tanpa melalui mekanisme ragu. “Ragu, khususnya dalam hal iman, tidak diperlukan, tetapi bisa saja terjadi pada sebagian orang. Bagi simple minded people (awam) yang sehari-hari melaksanakan ibadah dengan tekun, ragu tidak diperlukan, karena sudah ada keyakinan yang kokoh dalam dirinya),” terang alumni Arizona State University ini.