Kehidupan manusia mengalami perubahan dan dihiasi berbagai masalah. Selama periode Kenabian Muhammad Saw, hampir tidak ada masalah perpecahan di kalangan umat Islam. Setiap problem dapat ditanyakan kepada Rasulullah Saw. Perbedaan pendapat muncul setelah Nabi Saw wafat. Lantaran, persoalan-persoalan yang tidak memiliki presedennya di era Kenabian.
Hal ini kemudian dikonfirmasi Ibnu Rusyd. Dalam kitab berjudul Bidayat al-Mujtahid, Ibnu Rusyd menggambarkan bahwa sumber pokok syariat Islam tidak mungkin diproduksi kembali (mutanahiyat), sementara realitas semesta dan kehidupan manusia terus berlanjut tanpa batas (ghair mutanahiyat). Dengan kata lain, setelah Nabi Saw wafat, teks al-Qur’an dan al-Sunnah terhenti dan tidak mungkin bertambah, sementara persoalan keagamaan di tengah masyarakat terus bergulir.
Kenapa Ada Ijtihad?
Dua abad setelah Rasul wafat, tanggung jawab mengisi kekosongan hukum ada pada pundak para ulama yang biasa dikenal dengan istilah ijtihad. Tidak salah bila menyebut ijtihad merupakan salah satu prinsip gerak dalam Islam. Ijtihad harus lahir dari problem konkret yang bersumber langsung dari aduan masyarakat terkait problem keagamaan mereka. Oleh sebab itu, diperlukan ulama yang memiliki kemampuan mencari titik paling mashlahat antara idealisme hukum dengan realitas sosial.
Dasar hukum pentingnya melakukan ijtihad ini merujuk pada peristiwa monumental penunjukkan Muadz bin Jabal sebagai hakim yang diutus Rasulullah Saw ke kawasan Yaman. Secara dialogis, Rasulullah Saw bertanya kepada Mu’adz, bagaimana dia menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapkan kepadanya. Mu’adz menjawab akan merujuk pada al-Qur`an, jika tidak ada dalam Kitab Suci itu, maka akan merujuk pada Sunnah Nabi Saw, dan andaikan dalam Sunnah Nabi Saw sekalipun tidak ditemui jawabannya, Muadz akan berijtihad dengan menggunakan pemikirannya.
Peristiwa dialog antara Rasulullah dan Muadz bi Jabal ini dijadikan sebagai pegangan oleh para intelektual Islam sampai hari ini sebagai dasar untuk melakukan ijtihad dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum masyarakat Islam di era modern ini.
Arti Ijtihad
Dalam diskusi antara Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Jabatan Mufti Negeri Perlis pada Senin (11/10), Dr. H. Khaeruddin Khamsin menerangkan tentang definisi ijtihad. Secara bahasa, ijtihad berasal dari kata “jahada” yang artinya upaya sungguh-sungguh atau mengerahkan segala kemampuan. Sedangkan secara istilah, mengutip Imam Al Ghazali dalam kitab Mustahfa min ‘Ilmi al-Ushul berarti upaya dengan mengarahkan segala kemampuan dan daya dalam melakukan suatu pencarian pengetahuan hukum syara’.
Sedangkan Imam al-Baydhawi al-Syairazi al-Syafi’I dalam kitab Minhaj al-Wushul ila ‘Ilm al-Ushul mengibaratkan orang yang berijtihad itu seperti orang yang mengangkat batu besar yang secara pikiran dan perasaan orang itu tak mampu untuk menggerakan batu itu, namun berkat pengerahan segala daya dan upaya akhirnya mampu menggerakkan batu besar tersebut. Kesan berat dalam ijtihad yang ditunjukkan Imam Al-Baydhawi ini ingin menunjukkan sikap ihtiyat (kehati-hatian) dalam memberikan persyaratan kepada mujtahid.
Syarat-syarat Mujtahid
Dalam kitab Adab al-Mufti wal-Mustafti, Ibn Shalah menjelaskan tentang syarat-syarat menjadi seorang mujtahid mustaqil (mutlak) yaitu meliputi: menguasai ilmu ushul fiqih, ilmu al-Quran, ilmu hadis, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu gramatikal arab, dan Bahasa Arab. Mereka juga harus pandai menguasai ilmu dialektika para ulama (ikhtilaf), tahu apa yang menjadi kesepakatan para ulama, dan memiliki kemampuan menggali hukum langsung dari sumbernya. Ibn Shalah mengatakan bahwa posisi yang menempati tingkatan mujtahid mustaqil ini adalah pendiri mazhab, yaitu Imam al-Syafi’i.
Menurut Ibn Shalah, pengetahuan yang dipegang oleh mujtahid mustaqil haruslah komprehensif, tidak boleh ahli dalam satu bidang tapi lemah dalam bidang lain. Dia harus menguasai ilmu waris, begitu juga ilmu manasik. Jika ada seorang mujtahid yang piawai dalam menggunakan qiyas, tapi tidak paham ilmu hadis, maka dia tidak bisa masuk dalam kategori mustaqil. Menurut Ibn Shalah kalau tahu tentang ilmu mawaris, maka dia juga harus tahu tentang ilmu nikah. Karena itulah, seorang mujtahid mustaqil harus ahli dalam segala bidang ilmu.
Sulitnya syarat menjadi mujtahid mutlak ini semakin menjamurnya taklid buta. Golongan muqallid inilah yang membuat ijtihad hukum para ulama seakan sakral—dalam istilah Muhammad Arkoun ‘penyakralan pemikiran keagamaan’ (taqdis al-afkar al-diny). Yusuf Qardlawi menyakatan seseorang yang bertaklid dengan taklidnya itu seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid. Catatan sejarah telah menunjukan bahwa taklid berkontribusi besar dalam membentuk otoritas hukum Islam, tetapi juga kontribusinya tidak kecil dalam mewujudkan kampanye ijtihad telah tertutup.
Ijtihad Jama’i
Dr. H. Khaeruddin Khamsin, Wakil ketua Mejelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, mengatakan bahwa di zaman ini, rasa-rasanya kita akan kesulitan menemukan manusia yang memiliki kapasitas sempurna sebagai mujtahid mutlak seperti Imam al-Syafi’i atau Imam Abu Hanifah. Jangankan mujtahid mutlak, level mujtahid mazhab yang ahli soal metode syafi’iyyah saja, misalnya, sudah sangat susah. Karenanya, saat ini yang bisa diupayakan adalah menghimpun beberapa pakar untuk berdiskusi dalam ijtihad kolektif atau ijtihad jama’i.
Ijtihad kolektif (Ijtihad Jama’i) dianggap sebagai solusi yang tepat untuk mengatasi krisis pemikiran di dunia Muslim karena memungkinkan penyelesaian masalah modern, kontemporer dan kompleks, serta cenderung mengurangi fanatisme mazhab hukum Islam. Salah satu alasannya adalah sejumlah ulama Muslim dari berbagai mazhab dan berbagai disiplin ilmu dapat duduk bersama untuk melakukan ijtihad secara kolektif. Hal ini berbeda dengan awal terbentuknya mazhab ketika ulama secara individu menafsirkan Kitab Suci.
Mengutip Nadirsyah Hosen, prosedur ijtihad kolektif ini diikuti karena para cendekiawan Muslim menghargai dan memahami bahwa masalah di era modern jauh lebih kompleks daripada di masa kenabian lima belas abad yang lalu. Oleh karena itu, komunitas Muslim saat ini mengharapkan para cendekiawan Muslim untuk memberikan jawaban yang luas atas masalah mereka, tidak hanya dari sudut pandang hukum Islam, tetapi juga dari sudut pandang lain.
Dengan ijtihad jama’i, seluruh “mujtahid mutlak” dalam berbagai disiplin ilmu, baik ilmu sains, sosial, dan hukum Islam, dapat berkumpul merumuskan sebuah produk hukum yang berkemajuan, bijak, dan berkeadilan. Dalam penyusunan Fikih Difabel, misalnya, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah tidak saja mengundang pakar hukum Islam tetapi juga mengundang aktivis difabel, termasuk para penyandang difabel.
Khaeruddin Khamsin mengatakan bahwa Ijitihad kolektif biasanya dilakukan oleh sebuah lembaga fatwa yang memang memiliki otoritas penuh dari Negara dan masyarakatnya. Di Timur Tengah ada Dar al-Ifta di Mesir yang merupakan lembaga fatwa resmi tertua di dunia yang masih ada sampai saat ini. Sedangkan di Eropa ada The European Council For Fatwa and Research, lembaga fatwa ini bersifat independen dan merupakan gabungan dari banyak ulama besar dari berbagai negara di dunia. Di Indonesia kita memiliki beberapa lembaga fatwa keislaman di antaranya Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama dan Majelis Ulama Indonesia.
Naskah: Ilham Ibrahim
Editor: Fauzan AS