MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Persyarikatan Muhammadiyah tercatat sebagai organisasi kemasyarakatan pertama yang paling tanggap ketika virus Covid-19 diumumkan telah masuk di Indonesia.
Begitu Presiden Jokowi mengumumkan kasus pertama pada 2 Maret 2020, Muhammadiyah segera merespon dengan membentuk Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) pada 5 Maret 2020, lebih awal delapan hari daripada Gugus Tugas Penanganan Covid yang didirikan Pemerintah.
Tak hanya membentuk gugus tugas, Muhammadiyah juga menyiapkan perangkat fatwa, sikap keagamaan dan mengerahkan seluruh komponen di tingkat pusat hingga ranting untuk bergerak bersama.
Dalam forum diskusi daring Rakyat Merdeka TV, Senin (9/8) Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti membeberkan tiga alasan mengapa Muhammadiyah bergerak paling awal dan tetap konsisten menangani pandemi hingga saat ini.
Pertama, Muhammadiyah memandang bahwa pandemi Covid-19 adalah musibah dan bukan azab sehingga ada sisi positif dan negatif dari pandemi yang harus disikapi dengan ikhtiar yang sebaik-baiknya.
“Ini perlu kami tegaskan di awal karena banyak pihak yang mengatakan musibah ini, Covid-19 ini bukanlah musibah, tapi ‘uqubah. Sebagian (masyarakat) mengatakan itu azab atau siksa, tapi Muhammadiyah secara tegas menegaskan posisinya bahwa pandemi ini adalah musibah,” ungkapnya.
Kedua, gerak Muhammadiyah menangani pandemi menurut Mu’ti adalah karena kesadaran bahwa seluruh masyarakat bersama pemerintah bertanggungjawab menangani pandemi.
“Dalam konteks ini peran yang dilakukan Muhammadiyah itu merupakan bagian dari ekspresi dan aktualisasi dari tiga hal yang menjadi bagian dari komitmen kami: Pertama, merupakan tanggungjawab spiritual kami bahwa secara keagamaan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam memiliki tugas untuk membantu sesama yang memerlukan pertolongan. Ketika ada musibah tentu kita harus saling membantu satu sama lain yang dalam Alquran disebutkan tolong menolonglah dalam kebaikan dan takwa dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan,” jelasnya.
“Kemudian yang kedua adalah tanggungjawab sosial kebangsaan. Muhammadiyah adalah bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Oleh karena itu Muhammadiyah tidak pernah melihat masalah pandemi Covid-19 ini dari sudut pandang politik, tapi Muhammadiyah melihatnya sebagai bagian dari tanggungjawab kebangsaan, tanggung jawab Muhammadiyah sebagai bagian kecil dari bangsa Indonesia,” tambah Mu’ti.
Ketiga, Abdul Mu’ti mengungkapkan bahwa alasan Muhammadiyah adalah murni kemanusiaan sebagaimana bagian dari perintah Islam itu sendiri.
“Nah ini tentu menjadi bagian yang tak terpisahkan karena kadang-kadang kalau kita melihat musibah ini dari sudut pandang agama saja, atau sosial saja maka dimensi kemanusiaan kadang-kadang terlupakan karena kita sering di dalam realitas keseharian melihat bagaimana bencana ini tidak sekadar menjadi bencana yang menyebabkan hilangnya nyawa atau kerusakan, tapi kadang-kadang juga bisa menjadi musibah-musibah yang lain di luar musibah itu sendiri. Kadang-kadang bangsa kita ini menjadi terpecah belah dan terfragmentasi karena musibah itu,” kritiknya.
“Dan karena ini merupakan bagian dari tugas kemanusiaan, maka di dalam Muhammadiyah melayani masyarakat, Muhammadiyah tidak pernah melihat masyarakat itu dari etnisnya, dari agamanya, dari partai politiknya atau faktor-faktor lain yang menyebabkan kita tersegregasi atau terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Inilah saya kira kenapa Muhammadiyah terpanggil dan tergerak,” pungkasnya.