MUHAMMADIYAH.ID, BANDUNG – Pada 2019, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis hasil survei Program for International Student Assessment (PISA) yang menyatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia menempati posisi ke-62 dari 70 negara.
Tak hanya minat baca yang lemah, daya saing masyarakat Indonesia beserta Human Development Index masih terpuruk di level Asean.
Bangsa Indonesia juga dianggap malas karena merujuk studi ilmuwan bioteknologi Stanford University Scott Delp (2017), orang Indonesia berjalan kaki rata-rata 3.513 langkah per hari, jauh di bawah Hongkong yang sebanyak 6.880 langkah per hari.
Menyinggung masalah di atas, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menasehati agar warga Persyarikatan tidak termasuk golongan di atas. Sebaliknya, orang Muhammadiyah menurutnya patut menjadi pelopor mengentaskan masyarakat dari ketertinggalan tersebut.
“Muhammadiyah harus memelopori itu. Kalau tidak Muhammadiyah mau siapa lagi? Tapi kalau Muhammadiyah justru larut di situ berarti kita sudah ketinggalan, kita sudah menjadi masyarakat yang konservatif, jumud, lalu larut dalam simulakra media sosial yang di situ kita bukan menjadi fa’il (subjek) tapi kita menjadi maf’ul bih (obyek),” tuturnya.
Dalam forum Sertijab UM Bandung, Rabu (16/6) Haedar berpesan agar warga Muhammadiyah tidak larut dalam kebisingan di media sosial sehingga lupa dengan produktivitas dan amal di dunia nyata.
“Kalau warga Muhammadiyah apalagi pimpinannya terlalu asyik masyuk dengan berwhatsapp dan masuk di media apalagi dengan ghibah, tasakhor (caci maki), suka merendahkan orang lain, nyinyir, membully, su’uzan dan semua energi negatif yang keluar dari media sosial itu, nanti lama kelamaan kita tidak menjadi ‘Ibadur Rahman tapi tidak juga menjadi Ulil Albab, tidak menjadi Ar Rasikhuna Fil Ilmi,” pesannya.
“Apalagi nambah usia kita dan muka kita menjadi berkerut karena banyak hoax, postingan yang nggak-nggak, juga merespon hal-hal yang tidak perlu. Kasratul kalam, terlalu banyak cakap, terlalu banyak komen, terlalu banyak hal yang remeh-remeh,” imbuhnya.
“Dalam konteks bangsa tentu kita punya kepentingan untuk menjadi kekuatan yang terus konsisten mencerdaskan kehidupan bangsa, menyebarluaskan etos dan tradisi ilmu di kalangan masyarakat dan itu kan DNA-nya Muhammadiyah sejak lahir, sejak berdiri,” pungkas Haedar.