MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, menghadiri dan memberikan sambutan dalam Pengajian Akbar sekaligus peresmian sejumlah amal usaha Muhammadiyah di Kotagede, Yogyakarta.
Acara yang digelar di Masjid Multifungsi SMP Muhammadiyah 7 pada Sabtu (02/08) ini menjadi momen reflektif atas jejak sejarah Islam dan pergerakan Muhammadiyah di tanah Yogyakarta, khususnya Kotagede.
Bagi Haedar, Kotagede bukan sekadar tempat bersejarah. Ia mengaku memiliki kedekatan emosional yang kuat dengan kawasan ini. “Saat aktif di IPM tahun 1983–1985, saya sering keluar masuk tempat ini untuk rapat dan kegiatan. Tempat ini punya kesan mendalam,” ujarnya.
Haedar juga menyinggung kediaman almarhum Bashori, salah satu tokoh Muhammadiyah Kotagede, yang kini difungsikan sebagai pondok pesantren tahfidzul Quran. Ia menyebutnya sebagai amal jariyah yang insyaAllah akan terus mengalirkan pahala, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw.
“Bapak ibu juga yang menyumbangkan untuk kepentingan agama dan pendidikan ini juga insyaAllah akan menjadi amal jariyah yang terus mengalir walaupun kita sudah berada di alam yang lain,” kata Haedar.
Dalam pidatonya, Haedar menekankan pentingnya memahami konteks sejarah Kotagede yang tak terpisahkan dari perkembangan Islam di Nusantara. Menurutnya, Kotagede adalah pusat awal berdirinya Kerajaan Islam Mataram pada 1570 M, yang dipimpin Kiai Ageng Pamanahan dan dilanjutkan Pangeran Senopati hingga Sultan Agung.
“Sejarah ini penting bagi kita. Kesultanan di Yogyakarta adalah kerajaan Islam. Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah Mataram dan masyarakat Yogyakarta,” tegas Haedar.
Ia mengajak umat Islam menjadikan sejarah ini sebagai fondasi memperkuat relasi sosial dan budaya Islam di wilayah ini.
Tak hanya berperan dalam sejarah kerajaan, Kotagede juga menempati posisi strategis dalam sejarah Muhammadiyah. Setelah Muhammadiyah berdiri di Kauman tahun 1912, cabang awal segera berkembang di Kotagede.
“Tahun 1922 sudah menjangkau Surakarta, Pekalongan, Garut, Batavia, hingga Aceh. Tahun 1926 sudah masuk Sulawesi dan Papua. Tidak ada ormas Islam lain yang secepat itu penyebarannya,” ujar Haedar.
Ia menyebut Muhammadiyah sebagai kekuatan Islam yang menyatu dengan semangat kebangsaan dan kemanusiaan semesta.
Kotagede juga dikenal sebagai tempat lahirnya banyak tokoh besar. Di antaranya adalah Prof. Rasjidi, Menteri Agama pertama RI yang merupakan alumni Muallimin Yogyakarta, lulusan Universitas Al-Azhar di Kairo dan Sorbonne di Paris.
“Waktu itu sangat langka seorang santri bisa kuliah ke Eropa. Ini harus jadi teladan bagi anak-anakku sekalian di Kotagede ini,” ujar Haedar seraya mengajak pelajar untuk menjadi generasi ulul albab, yaitu insan berilmu, berhati bening, dan dekat dengan Allah, sebagaimana tersirat dalam QS Ali ‘Imran: 190–191.
Haedar juga menyinggung potensi ekonomi masyarakat Kotagede yang dikenal sebagai pusat perdagangan. Menurutnya, ini merupakan warisan historis dari para saudagar Muslim yang menjadi tulang punggung dakwah dan kemerdekaan bangsa.
“Coba bayangkan, pusat kerajaan Islam, pusat ilmu, pusat dagang—luar biasa Kotagede ini,” katanya.
Namun, ia mengingatkan, potensi ini hanya akan berdampak besar jika seluruh amal usaha—masjid, kampus, rumah sakit, sekolah—digerakkan secara kolektif sebagai kekuatan yang menyatu demi masa depan Islam yang berkemajuan.
Dalam kesempatan itu, Haedar secara simbolis menandatangani prasasti peresmian untuk sejumlah amal usaha Muhammadiyah di Kotagede, yaitu: Masjid Multifungsi SMP Muhammadiyah 7 Yogyakarta, Kampus 2 SD Muhammadiyah Purbayan, Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Muhammadiyah Ibnu Juraimi Cokroyudan dan Kudusan, TK ABA Bodon, serta RS PKU Muhammadiyah Kotagede.
Acara yang berlangsung khidmat dan penuh semangat ini dihadiri oleh para tokoh Muhammadiyah Kotagede, ulama, guru, karyawan, serta murid-murid dari berbagai satuan pendidikan Muhammadiyah di wilayah tersebut.