Semakin banyak umat Islam yang tinggal dan bekerja di negara-negara yang mayoritas penduduknya bukan Muslim. Dalam situasi tersebut, pertanyaan seputar kehalalan makanan terutama daging menjadi hal yang tidak terhindarkan.
Salah satu persoalan yang sering muncul adalah: Bolehkah seorang Muslim mengonsumsi daging sembelihan di negara non-Muslim? Apalagi jika sulit menemukan rumah makan atau toko yang menyajikan makanan halal.
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menjawab persoalan ini dengan merujuk langsung pada ketentuan syariat.
Dalam paparannya diawali dengan penjelasan bahwa Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur dengan jelas tentang halal dan haram, termasuk dalam urusan makanan. Ketentuan ini bersumber dari Al-Qur’an dan hadis, serta penjelasan para sahabat Nabi.
Salah satu dasar penting dalam masalah ini adalah firman Allah dalam surat al-Māidah ayat 5:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُ ۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلْكِتَٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ…
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.”
(QS. al-Māidah [5]: 5).
Ayat ini menjadi pijakan penting bahwa sembelihan dari Ahlul Kitab, Yahudi dan Nasrani, adalah halal selama binatang yang disembelih bukanlah hewan yang diharamkan seperti babi dan anjing. Maka jika seorang Muslim berada di negara mayoritas Kristen atau Yahudi, konsumsi daging dari sembelihan mereka secara prinsip diperbolehkan.
Lebih lanjut, ada riwayat dari ‘Aisyah r.a. yang menyebutkan bahwa para sahabat pernah bertanya kepada Nabi Muhammad Saw mengenai daging yang tidak diketahui apakah ketika disembelih disebut nama Allah atau tidak. Nabi Saw menjawab:
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ، أَنَّ قَوْمًا قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَا بِلَحْمٍ، لَا نَدْرِي أَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لَا؟ فَقَالَ: سَمُّوا أَنْتُمْ وَكُلُوا
“Diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a., bahwa ada beberapa orang berkata kepada Nabi Saw: Ada sekelompok orang membawa kepada kami daging, tetapi kami tidak tahu apakah mereka menyebut nama Allah atasnya atau tidak. Maka beliau bersabda: Sebutlah nama Allah oleh kalian, dan makanlah.” (HR. Ibnu Majah, al-Baihaqi, dan ad-Darimi).
Hadis ini memperkuat pandangan bahwa seorang Muslim tetap bisa mengonsumsi daging dari sembelihan Ahlul Kitab, selama tidak diketahui secara pasti bahwa daging tersebut disembelih dengan cara yang bertentangan dengan syariat.
Ibn Abbas r.a. bahkan menjelaskan latar belakang kenapa sembelihan Ahlul Kitab itu dihalalkan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: إِنَّمَا أُحِلَّتْ ذَبَائِحُ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى مِنْ أَجْلِ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِالتَّوْرَاةِ وَالإِنْجِيلِ
“Diriwayatkan dari Ibn Abbas r.a., ia berkata: Sesungguhnya dihalalkannya sembelihan Yahudi dan Nasrani itu adalah karena mereka beriman kepada Taurat dan Injil.” (HR. Al-Hakim dan disahihkannya).
Namun demikian, Majelis Tarjih juga mengingatkan bahwa konteks kekinian harus menjadi perhatian. Di era industri modern, proses penyembelihan dan pengolahan makanan sering kali tidak lagi dilakukan secara tradisional atau religius, bahkan oleh pemeluk agama itu sendiri.
Alat-alat masak yang digunakan pun sering kali digunakan bersama untuk daging halal dan non-halal. Maka, meskipun hukum asalnya halal, perlu ada sikap iḥtiyāṭ (kehati-hatian) dalam praktiknya. Jika ada keraguan yang kuat, maka lebih baik ditinggalkan, sesuai dengan kaidah:
دَعْ مَا يُرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يُرِيبُكَ
“Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.” (HR. al-Tirmidzi).
Adapun jika daging tersebut berasal dari sembelihan orang-orang kafir selain Ahlul Kitab—seperti atheis, penyembah berhala, atau orang murtad—maka para ulama sepakat bahwa sembelihan mereka haram. Firman Allah menjelaskan dengan tegas:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah (yang mengalir), daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” (QS. al-Māidah [5]: 3).
Maka jelas bahwa sembelihan orang non-Muslim yang bukan Ahlul Kitab tidak termasuk dalam pengecualian dan tetap haram, meskipun dibacakan basmalah sebelum memakannya.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Halal-Haram Makanan (Daging) Ketika di Negara Non Muslim”, dalam Majalah Suara Muhammadiyah No 11 Tahun 2008.