Tertangkapnya enam tersangka baru dalam sindikat perdagangan bayi ke Singapura menambah panjang daftar kejahatan kemanusiaan yang memalukan. Para pelaku, yang berperan sebagai pengasuh dan orang tua palsu, ditangkap di Pontianak dan Kubu Raya, Kalimantan Barat. Dua bayi berhasil diselamatkan sebelum diberangkatkan ke luar negeri.
Sejauh ini, total 20 tersangka telah diamankan oleh Polda Jawa Barat. Kasus ini membuka kembali perbincangan penting tentang perlindungan anak dan praktik pengangkatan anak yang sesuai dengan hukum Islam dan hukum positif negara.
Praktik Pengangkatan Anak dan Batasannya dalam Islam
Dalam Islam, pengangkatan anak memiliki batasan yang jelas demi menjaga kemaslahatan dan nasab. Ada dua jenis praktik pengangkatan anak di masyarakat.
Pertama, mengangkat anak orang lain untuk diasuh tanpa mengubah status nasabnya. Kedua, praktik adopsi yang justru melekatkan nasab anak angkat kepada orang tua angkat, yang berimbas pada hak-hak keperdataan seperti warisan dan perwalian nikah.
Islam membenarkan praktik pertama, yaitu pengasuhan tanpa mengubah nasab. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Surah Al-Ahzab ayat 4:
وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ
“Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri” [QS al-Aḥzāb (33): 4].
Ayat ini menegaskan bahwa nasab anak tetap melekat pada ayah dan ibu kandungnya. Konsekuensinya, anak angkat tidak menjadi mahram bagi keluarga angkatnya, kecuali melalui hubungan persusuan. Ia juga tidak berhak menjadi ahli waris, meskipun orang tua angkat dapat memberinya harta melalui wasiat.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 209 ayat 2 bahkan menyebutkan bahwa anak angkat dapat menerima “wasiat wajibah” sebanyak sepertiga dari harta warisan orang tua angkatnya.
Terkait hubungan mahram, jika anak angkat disusui oleh ibu angkatnya sebanyak lima kali susuan, maka berlaku hukum persusuan yang menjadikan mereka mahram. Hal ini sesuai dengan hadis dari Aisyah r.a. yang diriwayatkan oleh Ahmad, di mana Rasulullah memerintahkan Sahlah binti Suhail untuk menyusui Salim.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ… فَأَمَرَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُرْضِعَ سَالِمًا فَأَرْضَعَتْهُ خَمْسَ رَضَعَاتٍ وَكَانَ بِمَنْزِلَةِ وَلَدِهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ
“Dari Aisyah, Rasulullah memerintahkan Sahlah untuk menyusui Salim lima kali, sehingga ia menjadi anak susuannya” [HR Aḥmad].
Hadis lain menegaskan:
إِنَّ الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الوِلَادَةُ
“Hubungan susuan mengharamkan apa yang diharamkan oleh nasab” [HR Muslim].
Dengan demikian, anak susuan memiliki hubungan mahram dengan ibu susuan dan keluarganya.
Perdagangan Anak Adalah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Kasus sindikat perdagangan bayi ini merupakan bentuk kejahatan serius yang disebut trafficking. Dalam Islam, trafficking dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran terhadap kehendak Allah. Manusia adalah makhluk yang dimuliakan oleh Allah, bukan komoditas yang bisa diperjualbelikan.
Firman Allah dalam Surah Al-Isra’ ayat 70 secara tegas menyatakan:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS Al-Isra’ [17]: 70).
Ayat ini menjadi landasan bahwa manusia, sejak hidup hingga meninggal, memiliki kemuliaan yang tidak boleh direndahkan. Bahkan, mematahkan tulang orang yang sudah meninggal saja dilarang, sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Aisyah:
كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا
“Mematahkan tulang orang yang mati seperti halnya mematahkannya ketika ia masih hidup.” (HR Abu Dawud, Ibn Majah, dan Ahmad).
Hadis ini menunjukkan betapa Islam sangat menghargai harkat dan martabat manusia, bahkan setelah meninggal. Oleh karena itu, menjual manusia, apalagi anak-anak yang rentan, adalah perbuatan haram yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Perlindungan Anak Menurut Hukum Negara
Hukum negara juga mengatur perlindungan anak secara ketat untuk mencegah praktik keji seperti perdagangan bayi. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal 7, menegaskan bahwa setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tua kandungnya. Pengangkatan anak hanya boleh dilakukan sebagai pertimbangan terakhir, dan harus demi kepentingan terbaik bagi anak tersebut.
Dalam UU Nomor 21 Tahun 2007, perdagangan anak didefinisikan sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang untuk tujuan eksploitasi. Praktik ini seringkali berkedok adopsi, namun bertujuan untuk trafficking.
Secara hukum di Indonesia, pengangkatan anak tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Untuk mengetahui tata cara secara rinci, masyarakat disarankan membaca langsung regulasi yang mengaturnya, seperti Keputusan Menteri Sosial No. 41/HUK/Kep/VII/1984 serta peraturan perundang-undangan lain yang relevan.
Mekanisme ini dirancang untuk memastikan bahwa pengangkatan anak dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak, serta mencegah penyalahgunaan yang berujung pada eksploitasi atau perdagangan anak.
Pengungkapan sindikat perdagangan bayi ini adalah bukti nyata bahwa upaya perlindungan anak harus terus diperkuat. Sinergi antara pemahaman hukum Islam dan penegakan hukum negara sangat penting untuk menjaga hak-hak anak dan memastikan mereka tumbuh dalam lingkungan yang aman dan penuh kasih sayang.
Referensi:
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Fikih Perlindungan Anak”, dalam Berita Resmi Muhammadiyah Nomor 03/2022–2027/Syakban 1445 H/Februari 2024 M, (Yogyakarta: Gramasurya, 2024).