MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, hadir di Kotagede pada Sabtu (02/08) untuk meresmikan sejumlah amal usaha Muhammadiyah yang baru dibangun. Acara ini menjadi bagian dari ikhtiar warga persyarikatan dalam memperkuat peran pendidikan dan dakwah di tengah masyarakat.
Bagi Haedar, Kotagede bukan tempat yang asing. Di masa mudanya sebagai aktivis Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), ia kerap mondar-mandir di wilayah ini untuk rapat dan kegiatan organisasi.
Kini, ia kembali dalam suasana yang berbeda, menyaksikan buah dari kerja kolektif yang dulu hanya bisa dibayangkan dalam obrolan rapat sederhana.
Lokasi pertama yang mereka datangi adalah Masjid Multi Fungsi SMP Muhammadiyah 7 Yogyakarta. Dari luar, bangunan masjid itu megah, bertingkat dua, dirancang mampu menampung 600 siswa untuk salat berjamaah.
Di dalam masjid itu, Haedar berdiri tenang di depan mimbar. Ia menyampaikan pengajian akbar.
“Kotagede ini luar biasa. Tempat ini jadi pusat kerajaan Islam awal, pusat ilmu, pusat dagang… Ini akan jadi kekuatan masyarakat Islam yang jaya di masa depan,” kata Haedar.
Namun, ia mengingatkan, potensi ini hanya akan berdampak besar jika seluruh amal usaha—masjid, kampus, rumah sakit, sekolah—digerakkan secara kolektif sebagai kekuatan yang menyatu demi masa depan Islam yang berkemajuan.
Usai sambutan, Haedar menandatangani prasasti. Bukan satu atau dua, tapi enam prasasti sekaligus. Ia meresmikan: Masjid Multi Fungsi SMP Muhammadiyah 7 Yogyakarta, Kampus 2 SD Muhammadiyah Purbayan, Pondok Tahfidzul Quran Putra Cokroyudan, Pondok Tahfidzul Quran Putri Kudusan, TK ABA Bodon, dan renovasi RS PKU Muhammadiyah Kotagede.
Setelah penandatanganan prasasti, rombongan Haedar berjalan kaki menuju SD Muhammadiyah Purbayan. Jalanan Kotagede yang khas, dengan gang-gang sempit dan rumah-rumah tua berarsitektur Jawa, menjadi latar yang estetik.
Di sepanjang lorong, anak-anak dengan seragam rapi dan wajah ceria menyambut mereka. Bendera-bendera kecil dikibaskan, lagu-lagu sekolah bergema di udara, menciptakan suasana riuh nan ceria.
Haedar dan Siti Noordjannah tak bisa menyembunyikan senyumnya. Keduanya tampak sesekali berinteraksi dengan anak-anak, mengusap kepala, bersalaman, dan menyapa mereka dengan penuh kasih. Jelas terlihat, kecintaan mereka pada anak-anak begitu tulus.
Setibanya di lokasi, Haedar meresmikan Kampus 2 SD Muhammadiyah Purbayan dengan memotong pita. Gedung baru yang megah itu dipersiapkan untuk menjadi ruang-ruang baru bagi impian anak-anak. Ruang kelas, perpustakaan, ekstrakulikuler, semua dirancang untuk memacu semangat belajar.
“Semoga gedung baru ini memberikan sentuhan baru dalam proses belajar mengajar,” harap Haedar, “sehingga mampu menghasilkan generasi-generasi cemerlang yang menyebarkan Islam Berkemajuan.”
Perjalanan pun berlanjut. Rombongan kembali bergerak, menembus jalanan Kotagede yang sempit, kadang hanya cukup untuk satu mobil kecil melaju pelan. Mobil rombongan Haedar harus berhenti di sebuah gang, lalu ia dan rombongan berjalan kaki.
Di sepanjang gang menuju Pondok Tahfidz Muhammadiyah Ibnu Juraimi Cokroyudan, para santri putra telah berbaris rapi. Pemandangan itu begitu menyentuh. Wajah-wajah mereka memancarkan semangat dan harapan.
Setelah berjalan beberapa meter, rombongan tiba di depan Masjid Adz-Dzikra. Haedar menggunting pita, meresmikan masjid yang dibangun khusus untuk para penghafal Al-Qur’an. Sebuah masjid yang didesain senyaman mungkin agar para santri bisa tenang dalam menghafal dan menyetorkan hafalan.
Haedar berharap, masjid ini akan menjadi pusat ilmu, tempat lahirnya “ulul albab sekaligus rasikhuna fil ilm”. Ia ingin mereka menjadi generasi penghafal Al-Qur’an sejati yang juga menguasai ilmu pengetahuan.
Sebagai informasi tambahan, masjid ini adalah wakaf dari seorang tokoh Muhammadiyah Kotagede, almarhum Bashori, ayahanda mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Khoirudin Bashori, yang kini menjadi amal jariah yang terus mengalir.
Karena jalanan semakin ramai, Haedar memutuskan naik motor. Rombongan Pemuda Muhammadiyah Kotagede siap mengiringi. Beberapa mengenakan korsa, sebagian lainnya memakai rompi KOKAM.
Mereka berbaris rapi, iring-iringan motor melaju menyusuri pasar Kotagede yang riuh. Sepeda motor meliuk-liuk di antara becak, pedagang sayur, dan turis yang heran melihat konvoi ini. Iring-iringan ini melintas dengan percaya diri, membawa pesan bahwa semangat gerakan ini tak pernah benar-benar berhenti.
Perjalanan motor berakhir di gang sempit dekat Masjid Mataram tepatnya di Pondok Tahfidz Muhammadiyah Ibnu Juraimi Kudusan, khusus untuk santri putri. Pemandangan serupa terulang. Santri-santri putri berjejer rapi, wajah-wajah mereka bersinar, menyambut rombongan Haedar.
Setibanya di depan gerbang, simbolisasi peresmian dilakukan dengan membuka layar penanda pondok. Tulisan itu tersingkap pelan, lalu tampak nama lengkap Pondok Tahfidz Muhammadiyah Ibnu Juraimi.
“Tempat ini,” ujar Haedar, “harus melahirkan pembelajar sejati. Kader-kader ‘Aisyiyah yang akan berkontribusi untuk umat dan bangsa.”
Di dalam gedung pondok, sebuah momen nostalgia yang romantis terukir. Haedar dan Noordjannah melihat-lihat, mata mereka memindai setiap sudut. Meski sudah direnovasi, Haedar masih hafal betul setiap jejaknya.
Dulunya, tempat ini adalah ruang di mana mereka sering mengadakan rapat dan menjalankan tugas-tugas organisasi IPM. Di sinilah, mungkin, benih-benih cinta di antara keduanya tumbuh ranum. Sebuah tempat yang menjadi saksi bisu perjalanan cinta dan perjuangan mereka.
Touring kembali dilanjutkan. Iring-iringan motor melaju pelan melewati deretan toko, apotek, dan warung kelontong yang mulai sibuk menjelang siang. Di sebuah gang kecil, rombongan berhenti. Mesin-mesin dimatikan, lalu langkah kaki mengambil alih. Jalan setapak mereka susuri bersama kali ini menuju TK ABA Bodon.
Lorong sempit menuju TK ABA Bodon dipenuhi keriuhan polos anak-anak. Mereka berdiri di sisi kiri-kanan jalan, mengenakan seragam kecil yang warnanya mencolok cerah. Di tangan-tangan mungil mereka, bendera kertas bergoyang tak seragam. Tapi semuanya tampak riang.
Sesampainya di bangunan TK yang baru itu, pintu gerbang dihias pita. Disambut pula oleh ibu-ibu ‘Aisyiyah dengan pagelaran angklung. Nada yang dimainkan adalah lagu Can’t Help Falling in Love dari Elvis Presley. Ibu-ibu itu mengenakan kerudung merah gelap, batik hitam putih, dan memainkan angklung dengan ekspresi bahagia.
Begitu melangkah masuk ke bangunan, suasana langsung berubah. Ruangan itu seperti sebuah padepokan klasik yang dipenuhi unsur kayu dengan ukiran yang halus di tiap baloknya. Sentuhan tradisional terasa kuat tapi fasilitas pendidikan anak usia dininya juga begitu kumplit.
Dalam ruangan yang tenang dan syahdu itu, Haedar menyampaikan pesan: anak-anak inilah yang kelak akan melanjutkan estafet perjuangan.
“Jangan biarkan mereka menjadi ‘dzurriyatan dhu’afa’,” tegasnya, “tapi jadikanlah mereka generasi ‘qurrata a’yun’—penyejuk mata.”
Sebagai penutup dari perjalanan yang sarat makna ini, Haedar dan Noordjannah naik bajaj, kendaraan mungil yang menyusuri lorong-lorong Kotagede menuju titik akhir: RS PKU Muhammadiyah Kotagede. Rumah sakit tua yang berdiri sejak 1927 ini menyimpan sejarah panjang dedikasi Muhammadiyah di bidang kesehatan.
Terletak di Jl. Kemasan No. 43, rumah sakit ini memadukan bangunan bersejarah yang kokoh dengan fasilitas modern. Ruang ICU, UGD 24 jam, klinik gigi dan anak, ruang bersalin, hingga laboratorium dan radiologi. Semuanya hadir untuk melayani masyarakat.
Di halaman belakang, dilakukan peletakan batu pertama pembangunan gedung baru. Di sini, Haedar melakukan peletakan batu pertama untuk sebuah gedung baru. Baginya, ini adalah sebuah ikhtiar untuk memaksimalkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Setelah seharian berkeliling, rombongan Haedar melanjutkan perjalanan menuju Sekar Kedaton. Di tempat bernuansa klasik itu, mereka beristirahat, makan siang, dan menunaikan salat. Hari itu, menjadi bukti bahwa dari gang-gang kecil, sejarah besar bisa dimulai kembali.