MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Dalam kajian Gerakan Subuh Mengaji yang diselenggarakan pada Senin (02/06), Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Prof. Alimatul Qibtiyah, menyoroti pentingnya menghapus stigma “suami takut istri” yang kerap menjadi guyonan di masyarakat.
Dalam paparannya, ia menegaskan bahwa komunikasi terbuka antara suami dan istri, termasuk saling memberi tahu atau meminta izin, bukanlah tanda ketakutan, melainkan wujud penghormatan dan penguatan ikatan emosi dalam keluarga.
Prof. Alimatul menjelaskan bahwa stigma “suami takut istri” berakar dari budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pihak superior. Ketika seorang suami berkonsultasi dengan istrinya, hal ini sering dianggap tidak wajar dan menjadi bahan olok-olok. Sebaliknya, ketika istri meminta izin kepada suami, hal tersebut dianggap lumrah.
“Ini menunjukkan ketidakseimbangan persepsi dalam masyarakat kita. Padahal, dalam Islam, akhlak mulia suami dan istri tercermin dari saling menghargai, bukan saling takut,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menguraikan bahwa tujuan pernikahan dalam Islam adalah mencapai keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah, yang berfokus pada ketenangan jiwa, cinta kasih, dan kebaikan bersama. Untuk mewujudkan hal ini, komunikasi asertif menjadi kunci.
“Jangan hanya berkomunikasi batin, berharap pasangan memahami tanpa bicara. Sampaikan kebutuhan dengan sopan, seperti menginginkan hadiah ulang tahun, agar pasangan tahu apa yang diharapkan,” katanya.
Kajian ini juga membahas fakta sosial yang mengkhawatirkan, seperti tingginya angka gugat cerai yang didominasi oleh istri. Berdasarkan data, gugat cerai tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan cerai talak, dengan penyebab utama seperti perselisihan terus-menerus, masalah ekonomi, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Prof. Alimatul menyoroti bahwa miskomunikasi, seperti suami yang enggan memberi tahu istri tentang aktivitasnya karena takut dicap “takut istri,” sering memicu konflik.
Selain itu, ia menyinggung peran media sosial yang memperburuk hubungan suami-istri. Survei di Amerika menunjukkan bahwa 80% kasus perceraian dipengaruhi oleh media sosial, seperti pertengkaran di kolom komentar atau CLBK (cinta lama bersemi kembali) dengan mantan.
Untuk itu, ia menekankan pentingnya menjaga kedekatan emosi dan komitmen, serta memahami “bahan bakar cinta” masing-masing pasangan, seperti waktu berkualitas, sentuhan fisik, atau kata-kata dukungan.
Prof. Alimatul juga mengajak jemaah untuk mengubah narasi patriarki menjadi narasi kesetaraan.
“Kita harus menghapus istilah suami takut istri dan menggantinya dengan suami menghargai istri. Begitu pula istri menghargai suami. Ini adalah wujud akhlak mulia yang diajarkan Rasulullah,” tegasnya.
Ia mengutip hadis bahwa mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya terhadap pasangannya.
Kajian ini diakhiri dengan diskusi interaktif, di mana peserta seperti Pak Yana menyoroti perlunya sosialisasi untuk menghapus stigma patriarki.
Prof. Alimatul menegaskan bahwa keadilan harus dimulai dari pikiran, sehingga perilaku terhadap pasangan mencerminkan nilai-nilai Islam yang egaliter. Dengan pendekatan ini, ia berharap keluarga-keluarga Muslim dapat menjadi anugerah, bukan musibah, bagi masyarakat.