MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Dalam ceramahnya di Masjid KH Sudja Yogyakarta, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Budi Jaya Putra, mengajak jemaah untuk memaknai Iduladha sebagai momentum mempererat kerukunan sosial dan membuktikan ketakwaan melalui ibadah kurban.
Ia menegaskan bahwa Idul Adha memiliki keagungan lebih besar dibandingkan Idul Fitri, meskipun di Indonesia euforia Idul Fitri sering kali lebih terasa karena tradisi mudik dan libur hari raya.
“Idul Adha adalah hari raya yang penuh dengan zikir, tahlil, tahmid, dan takbir yang dikumandangkan lebih lama. Bahkan, puasa dilarang pada hari ini dan hari-hari tasyriQ (11, 12, 13 Zulhijah) untuk menunjukkan betapa istimewanya momen ini,” ujar Budi Jaya Putra, Senin (2/6).
Budi menjelaskan bahwa kurban berasal dari kata yang berarti mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah kurban, sebagaimana perintah dalam Surah Al-Kautsar ayat 2, “FasHalli li rabbika wanhar” (Dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah), merupakan wujud ketaatan setelah menjalankan salat.
Hukum kurban sendiri adalah sunnah muakkad, sangat dianjurkan bagi yang mampu, bahkan boleh dilakukan dengan cara berhutang atau arisan kurban selama ada kepastian pembayaran.
Budi juga menyinggung kisah Nabi Ibrahim AS yang diuji dengan perintah mengorbankan anaknya, Ismail, sebagai bukti ketakwaan. Dalam Surah Al-Haj ayat 37, Allah menegaskan bahwa bukan daging atau darah kurban yang sampai kepada-Nya, melainkan ketakwaan pelakunya.
“Kurban adalah ujian nyata, seperti yang dialami Nabi Ibrahim. Uang yang kita keluarkan untuk kurban, meskipun terasa berat, adalah bukti ketakwaan kita kepada Allah,” tambahnya.
Selain aspek spiritual, kurban juga memiliki dimensi sosial yang kuat. Budi menyoroti tiga manfaat utama kurban dalam kehidupan bermasyarakat:
pertama, menciptakan empati dan solidaritas melalui pembagian daging kepada fakir miskin, tetangga, dan keluarga.
Kedua, mengurangi kesenjangan sosial dengan memberikan kesempatan bagi semua kalangan untuk menikmati daging, sekaligus meningkatkan ekonomi peternak dan petani pakan ternak.
Ketiga, mempererat silaturahmi melalui gotong-royong saat penyembelihan dan pembagian daging, yang memungkinkan interaksi antarwarga.
Menanggapi kritik dari kelompok tertentu yang menyebut kurban sebagai “pembantaian hewan,” Budi menegaskan bahwa hewan kurban seperti sapi, kambing, domba, dan unta tidak pernah punah karena syariat Allah telah mempertimbangkan keseimbangan alam.
“Allah Maha Tahu, setiap perintah-Nya pasti bermanfaat. Hewan kurban tidak pernah terancam punah, berbeda dengan hewan yang tidak disyariatkan seperti harimau atau gajah,” jelasnya.
Dalam konteks modern, Budi mengajak jemaah untuk menjalankan ibadah kurban dengan memperhatikan kebersihan, ketertiban, dan manajemen sosial yang baik. Ia menekankan pentingnya transparansi dalam pembagian daging kurban untuk menghindari fitnah terhadap panitia, menjaga kebersihan lingkungan pasca-penyembelihan, serta menyalurkan daging ke daerah-daerah yang lebih membutuhkan.
Program seperti pengalengan daging kurban oleh Lazismu juga dianjurkan untuk memperluas manfaat, termasuk membantu daerah bencana dan mengatasi kekurangan gizi.
“Ibadah kurban bukan hanya soal ketakwaan, tetapi juga kerukunan sosial. Mari kita aktif berpartisipasi, berkontribusi, dan menjaga niat agar ibadah ini diterima Allah. Kurban hanya datang setahun sekali, jadi jangan tunda jika kita mampu,” tutup Budi, disambut antusiasme jemaah.